Jambi, Sitimang.id – Perpustakaan UPTD Taman Budaya Jambi sebagai unit pelayanan masyarakat dan sumber informasi data seni melengkapi koleksinya terkait sastra lisan ‘tupai jenjang’ yang merupakan salah satu warisan tradisi di Provinsi Jambi yang berasal dari Kabupaten Kerinci.
Kepala TBJ, Eri Argawan, melalui Koordinator Perpustakaan TBJ, Herman, menguraikan, sastra lisan tupai jenjang diperkenalkan pertama kalinya oleh ST. Haris almarhum diparuh tahun 1950-an. Sastra lisan ini selanjutnya diwariskan bapak Ibrahim sekitar tahun 1963.
Pertunjukan tupai jenjang dijadikan media hiburan untuk upacara naik rumah (tradisi pindahan rumah) pada masyarakat Kerinci, sunatan massal dan juga pengisi acara pada pesta pernikahan. Cerita tupai jenjang mengisahkan tentang Tuanku Rajo Tuo dan Puti Lindung Bulan, sebagai penguasa di daerahnya. Mereka belum dikaruniai anak. Dikisahkan bahwa Puti Lindung Bulan melihat seekor tupai di atas pohon kelapa. Hasrat untuk memiliki anak pun terucapkan oleh Puti Lindung Bulan kepada Rajo Tuo pada saat itu, bagi Puti Lindung Bulan biarlah mendapatkan anak serupa tupai jenjang asal itu anaknya. Singkat cerita Puti Lindung Bulan hamil dan melahirkan anak tupai. Anak yang dilahirkannya ini pada awalnya tidak disukai oleh Tuanku Rajo Tuo.
“Sastra lisan tupai jenjang memiliki pesan moral yang sangat kuat dan mempunyai kedalaman simbolisme yang bila dikaji secara mendetail maka kita akan menemukan khasanah kebudayaan Melayu yang kental dan bernilai tinggi,” ujar pria murah senyum ini pada Senin pagi (9/5/2022).
Ia menjelaskan, kemampuan bercerita dan kebiasaan untuk menampilkan tupai jenjang menjadi salah satu bentuk san sumbangannya bagi perkembangan kebudayaan Kerinci sehingga pada saat penampilannya. Salah satu tokoh dalam sasrta lisan ‘tupai jenjang’ bernama Ibrahim.
Dihubungi secara terpisah, Ibrahim mengatakan, dirinya mengemban misi kemasyarakatan sastra lisan tupai jenjang dan telah melewati fase yang disebut Tuloli, bahwa penampilan atau penceritaan merupakan kesempatan untuk mempertahan, meyebarluaskan dan meneruskan sastra lisan. Tanpa penampilan, maka sastra lisan akan dilupakan oleh orang atau tidak berwujud.
“Penampilan merupakan sarana untuk mengirimkan makna kepada pendengar. Makna yang dimaksud adalah isi atau ragam tersebut, Dalam penampilan, setiap tukang cerita melakukan berbagai gerakan anggota badan, kepala, tangan, kaki dan mimic juga perubahan suara. Hal ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman terhadap makna. Penampilan merupakan perubahan atau penciptaan kembali. Dalam penampilan suatu ragam cerita diberi khas sehingga berbeda dengan penampilan,” paparnya bersemangat. (Gun)
Discussion about this post