Jambi, Sitimang.id – Tradisi mudik merupakan salah satu tradisi terbesar yang dilakukan di Indonesia dan hampir semua orang melakukannya tiap tahun. Biasanya tradisi mudik dilakukan menjelang berakhirnya bulan puasa dan masyarakat berbondong-bondong merayakan hari lebaran di kampung halaman.
Lantas sejak kapan tradisi mudik dikenal di Indonesia? Menurut sejarawan Muhammad Yuanda Zara, tradisi mudik terjadi setelah Indonesia mengikrarkan kemerdekaannya, tepatnya sekitar tahun 1950-an.
Saat itu, pusat dari fenomena mudik terjadi di Jakarta dikarenakan posisinya sebagai pusat pemerintahan sekaligus ibukota RI. Ditambah lagi, masyarakat dari berbagai daerah beramai-ramai datang membanjiri Jakarta untuk mengadu nasib serta mencari peruntungan.
Dilansir dari Historia.id, berdasarkan statistik kependudukan tahun 1948-1949, jumlah penduduk Jakarta hanya 800.000 jiwa. Setelah tahun 1950-an, penduduk yang tinggal di Jakarta melonjak menjadi 1,4 juta jiwa karena kehadiran para pendatang yang berasal dari berbagai daerah.
“Setelah beberapa tahun tinggal, para pendatang ini memiliki kerinduan terhadap kampung halamannya. Mereka sudah bekerja dan memperoleh penghasilan di kota, berharap bisa menggunakan uang yang telah dikumpulkan di kampungnya. Dari situlah muncul fenomena mudik secara massal yang dilakukan para pekerja di Jakarta,” urainya dalam “Serba-Serbi Mudik Sejak Dahulu Kala”, seperti yang dilansir dari Historia.id.
Berdasarkan penelusuran Yuanda Zara, istilah mudik pertama kali dipakai sebagai sebuah kata dalam ruang publik Indonesia baru pada 1983. Sebelumnya, masyarakat menggunakan berbagai istilah untuk menyebut kegiatan mudik tersebut. Mulai dari “pulang ke kampung halaman”, “bersilaturahmi dengan keluarga besar”, “halal bi halal dengan keluarga di daerah”, dan sebagainya.
Menurutnya, istilah mudik juga muncul berkenaan dengan kegiatan pulang kampung di Yogyakarta. Dalam sebuah surat kabar tahun 1983, menjelang lebaran, ada kisah tentang para pembantu yang berasal dari kawasan Jalan Kaliurang, dekat lereng Merapi di sebelah utara, bekerja di pusat kota Yogyakarta di sebelah selatan.
Pada sebuah wawancara, mereka menggunakan kata “mudik” untuk menunjukkan kegiatan mereka kembali ke rumahnya di Kaliurang. Dari situlah kemudian kata mudik mulai banyak dipakai
“Jadi memang mudik itu pulang dari kota ke bagian hulunya (desa),” kata Yuanda Zara.
Sumber: historia
Discussion about this post