Jambi, Sitimang.com – Manusia adalah homo homini socius yang berarti manusia yang satu adalah sahabat bagi manusia lainnya. Persahabatan sosial ini dibangun dalam bentuk interaksi komunikasi dan saling berkabar, bertukar informasi dalam lingkungan sosial.
Lalu apa jadinya bika komunikasi menjadi terasing alias teralienasi akibat kecanggihan tekhnologi? Kritik sosial inilah yang hendak disampaikan Prodi Seni Teater ISI Aceh dalam pertunjukan yang bertajuk, Nomophobia. Pertunjukan ini juga menjadi reportoar kedelapan dalam Temu Teater Se-Sumatera tahun 2019.
Dari awal pertunjukan, Nomophobia langsung menghadirkan ruang tekhnologi lewat penggunaan ringtone gawai dan dilanjutkan laku akting seorang aktor diatas panggung yang terlihat memainkan game secara daring.
Letih menjelajahi permainan di gawai, penonton disindir dengan rutinitas kebiasaan bercinta di dunia maya lewat visualisasi kebiasaan ber-video call. Tak sebatas itu, Prodi Teater ISI Aceh juga “mengejek” kebiasaan pengguna media sosial yang doyan berswafoto alias selfie demi eksistensi diri.
“Karya Nomophobia merupakan sebuah kritik terhadap realitas sosial saat ini. Kecenderungan fenomena masyarakat saat ini yang lebih dominan untuk menjalin kerja dan komunikasi lewat media sosial daripada menjalin interaksi langsung dengan lingkungan. Saat ini hampir semua orang tak bisa lepas dari gawainya dan manusia pun menghamba pada gawai seakan-akan dewa yang dapat memberi jawaban setiap pertanyaan dan kegelisahan,” ujar sutradara, Fani Dila Sari.
Menjelang akhir pertunjukan, Prodi Teater ISI Aceh kembali “menelanjangi” perilaku dehumanisasi yang kerap kita lakukan, melalui adegan seorang aktor yang seolah-olah mengalami kecelakaan yang alih-alih ditolong malah sekedar difoto demi eksistensi dan aktualisasi diri di dunia maya.
“Kami mencoba mendeskripsikan nomophobia sebagai gejala sosial yang berdampak negatif terhadap psikologi manusia. Hal ini yang melandasi tindakan apatis manusia terhadap sekitarnya,” tambah Fani.
Hilangnya rasa kepekaan dan kepedulian sosial ini menjadi sebuah paradok komunikasi dan melahirkan alienasi sosial serta kecenderungan menggunakan teknologi sebagai realitas sosial demi aktualiasi diri. Mengutip ucapan Karl Marx, “bukan kesadaran seseorang yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosial yang menentukan keberadannya”. (Gun)
Discussion about this post