Jambi, Sitimang.id – Dalam rangkan pelestarian dan pendokumentasian kesenian tradisi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi melalui UPTD Taman Budaya Jambi menghadirkan penutur asli tari besayak ke panggung arena bersama para pegiat tari.
Eri Argawan selaku Kepala TBJ menerangkan, salah satu fungsi taman budaya adalah melakukan penggalian, pelestarian dan pengolahan terhadap berbagai ragam kesenian tradisi baik tari, sastra, teater, musik hingga seni rupa. Kegiatan ini dilakukan agar semua kesenian tradisi tidak hilang ditelan zaman serta memiliki pewaris khususnya para generasi muda.
“Salah satunya tari besayak atau tari sayak ini yang merupakan tari tradisi yang berasal dari Desa Air Batu Kecamatan Tanah Pemberab Kabupaten Merangin. Tari ini sudah ada sejak sebelum kemerdekaan NKRI tanggal 17 Agustus 1945. Tahun pastinya mulai ada tidak diketahui. Narasumber saat ini adalah bapak Mat Rasul yang merupakan keturunan keempat dari generasi pencipta tari besayak,” imbuhnya pada Senin (2/5/2022).
Diuraikannya, tari besayak dapat dikategorikan sebagai tari bebancian, artinya karena penarinya laki-laki tapi dalam olah dan gerak tari menirukan gerakan perempuan, termasuk kostumnya. Hal ini dikaitkan dengan filosofi bahwa perempouan tidak diizinkan menari dan dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, untuk menghindari perempuan dari penjajah pada saat itu maka peran penari perempuan digantikan oleh laki-laki.
Tari ini menggunakan perlengkapan seperti sayak atau tempurung. Tari besayak adalah tarian yang berfungsi sebagai hiburan pada saat ada acara di desa, seperti lebaran, upacara adat dan sebagainya. Penari yang membawakan tari besayak berjumlah 1, 2 atau 3 orang dan dapat juga dilakukan secara berkelompok. Musik yang mengiringi tari besayak terdiri dari viul, gendang atau rebana besar, gendang buluh, gong dan lagu atau nyanyian lagu “pisang Kayak”.
“Tahun 2013 untuk pertama kalinya tari besayak dihadirkan kembali ke tengah masyarakat desa dan akhirnya saat ini tari besayak sudah diajarkan ke generasi muda yang ada di desa Air Batu, mulai dari anak-anak hingga remaja. Bahkan tari ini sudah sering dipentaskan hingga keluar Desa Air Batu,” tambahnya.
Dalam penampilannya, tari besayak menggunakan kostum wanita yaitu baju kurung dan menggunakan kain sarung. Dikisahkan bahwa hal ini berhubungan dengan zaman penjajahan dahulu, dimana keberadaan perempouan diupayakan untuk tidak dihadirkan di depan umum serta masih adanya pandangan tentang tidak pantasnya seorang perempuan dilihat atau ditonton yang bukan muhrimnya. (Gun)
Discussion about this post