Oleh: Zubaidah (Mahasiswa Pascasarjana Kependudukan dan Ketenagakerjaan Universitas Jambi dan Direktur Beranda Perempuan)
Provinsi Jambi menduduki peringkat ke-9 tertinggi angka perkawinan anak dari 34 Provinsi di Indonesia (Survei Sosial ekonomi Nasional, 2021).
Sejak tahun 2018-2021 usia kawin pertama perempuan dibawah usia 18 tahun selalu berada diatas rata-rata angka nasional 10,12 persen. data yang dihimpun dari Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Jambi, dispensasi kawin anak juga melonjak 5 kali lipat dari tahun 2018 172 perkara menjadi 1000 perkara tahun 2021.
Angka perkawinan anak ini sangat mengkhawatirkan karena dapat dapat mempengaruhi demografi usia produktif. Badan Kepedudukan dan Keluarga Berencana Nasional memproyeksikan tahun 2020-2030 Komposisi Usia produktif penduduk Jambi jumlahnya akan lebih besar daripada usia non produktif. Perubahan struktur penduduk tersebut disebut bonus demografi.
Bonus demografi dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan syarat usia produktif memiliki kualitas pendidikan dan kesehatan yang baik, jika usia produktif terpapar perkawinan anak maka bonus demografi justru menjadi bencana.
Negara akan merugi karena harus mengeluarkan biaya untuk mengatasi berbagai dampak penuruan kualitas manusia akibat dari perkawinan anak. Seperti di lansir dari Laporan Laporan Bank Dunia dan Pusat Internasional untuk penelitian perempuan, negara-negara berkembang akan merugi trilyunan pada tahun 2030 akibat perkawinan anak.
Kualitas usia produktif sangat bergantung dari keseriusan pemerintah dalam meyediakan akses dan Kualitas sistem pendidikan yang masih sangat timpang di wilayah pedesaan. Praktik kawin anak paling sering terjadi di pedesaan yang memiliki akses yang lebih rendah ke sekolah dan lebih sedikit kesempatan kerja layak.
Jarak ke sekolah menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua tentang keselamatan anak perempuan mereka. ini dapat memperkuat perasaan orang tua bahwa mengirim anak perempuan ke sekolah adalah pemborosan sumber daya dan bahwa menikahkan mereka lebih dianggap “bijaksana.”
Sistem pendidikan yang buruk juga membuat anak perempuan mempertanyakan manfaat pendidikan yang mungkin tidak mungkin dapat mereka terapkan.
Sekolah justru dapat memperkuat norma gender yang berbahaya dengan mengajar anak perempuan bahwa pendidikan mereka akan dibatasi dan tujuannya hanya untuk menjadikan mereka istri yang lebih baik.
Situasi tersebut kemudian memaksa anak perempuan untuk masuk dalam babak baru kerentanan dan beban berlapis dalam rumah tangga. Organ reproduksi dan mental yang belum matang dan bagi laki-laki yang belum siap untuk meyokong kehidupan keluarga dapat memici terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
Dalam dekade terakhir telah terjadi peningkatan minat penelitian perkawinan anak. publikasi karya ilmiah baik nasional maupun internasional yang menguji bentuk intervensi pencegahan. Yang kurang diperhatikan adalah pertanyaan bagaimana penanganan anak perempuan yang sudah menikah.
Perempuan dan laki-laki yang kawin anak harus tetap diperlakukan selayaknya anak. Negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan jalan memungkinkan pasangan kawin untuk melanjutkan pendidikan dan pelatihan, meningkatkan pemahaman sosla kesehatan materintas dan dukungan kesehatan mental yang sudah menikah. Hingga mereka menjadi bagian dari bonus demografi. (***)
Discussion about this post