Jakarta, Sitimang.com – Sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), setidaknya sudah tiga kali dalam gugatan yang berakhir dengan kemenangan bagi kelompok/komunitas masyarakat.
Ketiga gugatan yang dimenangkan kelompok masyarakat yaitu gugatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah, gugatan uji materi Perpres 75/2019 tentang BPJS Kesehatan serta gugatan pemutusan jaringan internet di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada 2019.
Berikut ketiga gugatan tersebut seperti yang dikutip dari tirto.id
1. Gugatan Karhutla
Kasus karhutla di Kalimantan Tengah terjadi di periode pertama kepemimpinan Jokowi meski tak memungkiri pada era sebelumnya juga ada karhutla.
Selama Jokowi memimpin Indonesia jutaan hutan dan lahan terbakar. KLHK mencatat jumlah total lahan dan hutan yang terbakar di seluruh Indonesia pada periode 2015-2020 mencapai 5.402.037 hektare (ha).
Rinciannya, yakni 2015 luasnya 2.611.411 ha; 2016 (438.363 ha); 2017 (165.484 ha); 2018 (529.267 ha); 2019 (1.649.258 ha); 1 Januari-28 Februari 2020 (8.254 ha).
Hal itu mendorong sekelompok warga paling terdampak karhutla di Indonesia tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah mengugat secara class action ke Pengadilan Negeri Palangkaraya pada 16 Agustus 2016.
Tergugat adalah Presiden Republik Indonesia (RI), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah.
Dalam perjalanan kasus, Presiden Jokowi divonis melanggar hukum. Warga menang atas gugatan hingga level kasasi di Mahkamah Agung pada 16 Juli 2019. Namun, pemerintah Indonesia keberatan dengan kekalahan itu dan menempuh peninjauan kembali (PK) yang teregister di MA diajukan pada 14 Mei 2020.
Kendati demikian, dalam gugatan karhutla yang dimenangkan ada beberapa poin tuntutan yang dikabulkan. Di antaranya memerintahkan presiden membuat aturan turunan UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; membuat tim gabungan yang terdiri dari KLHK, Kementan, dan Kemenkes terkait dengan penanggulangan Karhutla; hingga membuat rumah sakit khusus paru-paru.
2. Gugatan Penaikan Tarif BPJS Kesehatan
Warga yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan berasal dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Kenaikan tarif BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terjadi kali pertama sejak 1 Januari 2020. Iuran Kelas III naik jadi Rp42.000 dari Rp25.500, Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, kelas I dari Rp80.000 jadi Rp160.000.
Dalih penaikan iuran oleh pemerintah Indonesia, karena BPJS Kesehatan mengalami defisit. Namun, menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masalah utama BPJS Kesehatan adalah kesalahan tata kelola, sehingga pengeluaran membengkak. KPK menemukan 1 juta data ganda penerima subsidi iuran yang berpotensi merugikan negara hingga Rp25 miliar.
KPCDI menguji materi Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2 Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan menyangkut penaikan iuran setiap peserta BPJS Kesehatan pada 5 Desember 2019.
Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim MA, Supandi mengabulkan uji materi pada 27 Februari 2020. Seharusnya iuran BPJS Kesehatan kembali pada tarif awal.
Faktanya, Jokowi justru mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2020 pada 5 Mei lalu berisi penaikan tarif lagi yang berlaku pada 1 Juli mendatang. Antara lain berisi tarif Kelas III tetap Rp25.500 dan menjadi Rp35.000 pada 2021. Iuran Kelas II kini jadi Rp100.000 dan Kelas I jadi Rp150.000. Keputusan itu terjadi kala pandemi Corona melanda Indonesia.
3. Gugatan Masalah Pemutusan Internet
Gugatan pemutusan internet di Papua sepanjang Agustus-September 2019. Saat itu, situasi Papua memanas karena warga asli Papua memprotres tindakan rasisme terhadap saudara sebangsanya di asrama Surabaya.
Protes di Papua dan Papua Barat yang semula damai menjadi rusuh dan meluas hingga korban dari orang asli Papua berjatuhan.
Selama protes, pemutusan internet berlangsung berkali-kali mengakibatkan kerugian bagi warga yang memerlukan akses internet untuk mengakses situasi di Papua. Salah satu dalih pemerintah membatasi internet di Papua adalah menghambat hoaks.
Cara serampangan pemerintah Indonesia memutus internet di Papua digugat Tim Pembela Kebebasan Pers (AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, Kontas, Elsam, dan ICJR).
Dalam putusannya kemarin, Ketua Majelis Hakim PTUN Jakarta, Nelvy Christin menyebut perbuatan pemerintah Indonesia melanggar hukum.
Di antaranya Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet.
Diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014.
Atas pelanggaran hukum tersebut, pemerintah harus menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara dilansir dari idntoday, pihak Istana masih mempelajari lebih dalam. Sebenarnya masih ada opsi untuk mengajukan banding. Mengingat putusan belum final dan mengikat, karena baru tingkat pertama. Untuk itu, melalui Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono mengatakan, masih ada waktu hingga 14 hari bagi tergugat untuk menyikapi keputusan itu.
“Belum diputuskan apa langkah hukum selanjutnya dari pihak pemerintah. Akan dibahas lebih lanjut dengan jaksa pengacara negara. Yang jelas masih ada waktu 14 hari sejak putusan PTUN untuk putusan tersebut berkekuatan hukum tetap,” kata Dini dalam pesan singkatnya, Rabu 3 Juni 2020, seperti yang dikutip dari idntoday.
Discussion about this post