Media mempunyai kekuatan untuk merekonstruksi, membentuk, atau mengubah persepsi dan penilaian orang terhadap sejarah. Era keterbukaan dan kebebasan informasi sejak 1998 mendorong media merekacipta narasi tentang suatu peristiwa sejarah dan tokohnya. Selain itu, perkembangan teknologi informasi turut berpengaruh terhadap penciptaan narasi lain.
Narasi itu terbentuk dari memori kolektif para agen memori, yaitu pelaku, saksi, dan para pengamat peristiwa sejarah. Media kemudian mengembangkan memori kolektif menjadi memori media melalui tiga langkah.
Pertama, media mengartikulasikan memori itu dalam bentuk bahasa. Kedua, menyajikan bingkai sosial di mana memori tersebut bertempat. Dan ketiga, menyajikan aktivitas mengingat tersebut dalam bentuk narasi kepada khalayak. Seringkali memori media sampai ke khalayak dalam bentuk narasi dramatis, mengejutkan, dan kompleks.
“Memori media dilihat sebagai bentuk memori kolektif yang termediasi,” kata Muhammad Aswan Zanynu, doktor anyar lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dalam sidang promosi doktoralnya di kampus UI, Depok, Jawa Barat, 26 Juni 2019.
Memori Media vs Sejarah
Sedangkan memori kolektif dapat digambarkan sebagai rekonstruksi masa lalu dalam perspektif masa kini. Menurut Zanynu, memori kolektif berbeda dari sejarah. “Sejarah membatasi diri pada peristiwa, kejadian, atau aktivitas manusia pada masa lampau. Sementara memori kolektif lebih terfokus pada memori manusia atas masa lalu yang digunakan oleh masyarakat untuk melihat eksistensi mereka saat ini.”
Melalui disertasinya, “Memori Dalam Narasi Media Berita Daring Indonesia: Peran Soeharto pada Peristiwa 1965”, Zanynu berupaya mengungkap bagaimana media daring Indonesia mengajukan memori medianya masing-masing tentang peran Soeharto dalam peristiwa 1965 setelah berlalu setengah abad.
Zanynu mengumpulkan 27 artikel dari enam media daring selama kurun tiga bulan, dari September sampai November 2015. Artikel-artikel pilihannya memuat tema G30S dan Peristiwa 1965 dengan beberapa kriteria. Antara lain mengangkat Soeharto sebagai tokoh utama dalam penceritaan, menyebut Soeharto dalam latar kisah, dan mengaitkan tokoh lain atau peristiwa sekitar 1965 dengan Soeharto.
Zanynu tidak banyak mengupas identitas dan latar belakang media-media daring tersebut. Dia juga mengaku tidak membahas dinamika ruang redaksi media ketika memori media tersebut diproduksi. “Penelitian ini membatasi diri pada narasi atau teks yang memuat memori atas Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965,” kata Zanynu.
Memori media menempatkan Soeharto sebagai sosok utama dalam skenario G30S. “Boleh jadi karena Soeharto tampil sebagai ‘pemenang’ dalam pertarungan kekuasaan tahun 1965—1966, dia kemudian terlihat masuk akal ketika digiring masuk pusat narasi,” terang Zanynu.
Analisis Zanynu terhadap 27 artikel media daring berujung kepada dua narasi besar tentang peran Soeharto dalam Peristiwa 1965. Soeharto sebagai protagonis dan antagonis. Kedua peran ini bergantung dari bagaimana media memilah dan memilih agen memori kolektif.
“Mereka yang pro-Soeharto mendudukkan tindakan Soeharto sebagai aksi patriotik, penangkapan dan pembunuhan massal dilihat sebagai konsekuensi yang tak terelakkan. Sementara mereka yang kontra-Soeharto, mencurigai tindakan tersebut sebagai aksi ambil untung yang menghalalkan segala cara untuk menggulingkan Sukarno,” terang Zanynu.
Peran protagonis Soeharto muncul ketika media menarasikan Soeharto menghentikan rencana G30S. Sebaliknya, peran antagonis Soeharto terlihat saat media menarasikan Soeharto telah mengetahui rencana G30S dan mengambil untung setelah rencana tersebut gagal.
Merawat Konsensus
Zanynu juga mengungkapkan bahwa setidaknya ada sembilan fragmen topik dalam 27 artikel media daring termaksud. Contohnya Soeharto memimpin serangan balasan terhadap G30S dengan cepat, Soeharto sebagai sosok anti-komunis, Soeharto memanfaatkan peran CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dan Marshall Green, kecenderungan Soeharto pro-Barat, Soeharto menuding Tiongkok sebagai negara di balik skenario G30S, dan indikasi keterlibatan Soeharto dalam pembunuhan massal pasca G30S.
Zanynu menjelaskan bahwa 27 artikel media daring tersebut berhenti pada narasi pembunuhan massal. Keseluruhan artikel juga tidak menyebut pertarungan politik Soeharto dan Presiden Sukarno. Narasi lain tentang Peristiwa G30S sebagai upaya pembersihan komunis dari bumi Indonesia juga tidak hadir dalam 27 artikel tersebut.
“Peristiwa ini semata-mata dilihat sebagai aksi kudeta dan kontra kudeta,” kata Zanynu. Hal ini tidak lepas dari kepentingan dan tujuan media dalam menghadirkan memori medianya masing-masing tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965. Memori media cenderung mengarah kepada tujuan merawat konsensus dan melindungi kepentingan mereka.
Memori media memang tidak menampilkan Soeharto dan peristiwa sekitar G30S secara hitam putih. Ada pertimbangan data, fakta, dan interpretasi apik dari media dalam menghadirkan memori medianya.
“Sisi abu-abu dari isu, tokoh, ataupun suatu peristiwa juga ditampilkan, tetapi pada batasan yang tidak terlalu jauh keluar dari konsensus masyarakat atau batas-batas kesepakatan para elite,” kata Zanynu.
Memori media hadir dalam format yang dapat ditebak dan tunduk pada pola tertentu. “Dia dipilih dengan sejumlah pertimbangan yang memenuhi kriteria konten media,” kata Zanynu. Pragmatisme juga mengalasi pilihan suatu isu dan penghadiran peran tokoh ketika memori tersebut berpotensi mengundang reaksi negatif.
Misalnya dalam memori media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965, media mempertahankan ‘konsensus’ bahwa PKI dan CIA, sebagai dalang aksi G30S. Meski memori media telah menempatkan Soeharto dalam dua peran besar, historiografi G30S tentang konflik internal Angkatan Darat tidak muncul secara eksplisit di dalam memori media. Di sini terjadi kontradiksi memori media. Media daring ternyata tidak selalu menghadirkan memori kolektif yang lengkap dan beragam.
Pemunculan CIA dan PKI sebagai dalang G30S cukup aman bagi kepentingan media. Menghadirkan Soeharto secara eksplisit sebagai dalang G30S akan membuat partai kuat pendukung Soeharto seperti Gerindra dan Golkar bereaksi keras. Begitu pula jika menghadirkan memori konflik internal tentara.
Menyikapi keadaan ini, memori media kemudian menyentuh kepentingan lain, yaitu isu pelanggaran Hak Asasi Manusia sekitar Peristiwa 1965. Di sinilah memori media kembali menghadirkan sosok Soeharto sebagai orang paling bertanggung jawab.
Memori media terhadap Soeharto, G30S, dan peristiwa 1965 tidak muncul setiap saat. Tetapi memori ini akan berkelanjutan dan berulang kembali bila ada momen tentang hal tersebut.
“Misalnya media hanya akan mengangkat isu 1965 pada bulan September akhir atau Oktober awal atau pada saat di mana orang bercerita tentang komunis dan sebagainya. Di luar waktu itu tidak ada,” kata Zanynu.
Karena itu media masih mempunyai kesempatan untuk mereproduksi memorinya tentang suatu peristiwa sejarah dan tokohnya secara lebih lengkap dari waktu ke waktu seiring perubahan kondisi zaman.
Discussion about this post