Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tatkala datang berita duka tentang Ja’far, Nabi Muhammad SAW datang kepada Asma binti ‘Umais (istri Ja’far), dan berkata kepadanya, “Sungguh Jibril mengabarkan kepadaku bahwasanya Ja’far adalah syahid di hadapan Allah SWT. Ja’far diberikan dua sayap untuk terbang bersama malaikat di surga.
Jambi, Sitimang.com – Ja’far bin Abi Thalib merupakan anak dari pasangan Abi Thalib dan Fathimah binti Asad.
Kedua orangtuanya memiliki putra-putri sebanyak 10 orang, Ja’far adalah putra ketiga setelah dua kakaknya, Thalib dan ‘Aqil.
Ja’far bin Abi Thalib menikah dengan Asma’ binti ‘Umais bin Ma’bad. Menurut Ibnu ‘Unabah dalam ‘Umdat al-Thalib keduanya dikaruniai 8 orang anak, empat di antaranya adalah Abdullah, Aun, Muhammad, dan Ahmad. Tiga anak pertama, menurut Ibnu Sa’ad, lahir ketika mereka sedang berada di Habasyah (Abyssinia).
Terkenal sebagai diplomat ulung
Pada masa awal umat Islam terus-menerus terpojok, mereka disudutkan berbagai aspek (politik, sosial, ekonomi).
Ja’far adalah termasuk sahabat yang paling awal masuk Islam dan merasakan beratnya cobaan ketika telah masuk Islam.
Dikarenakan cobaan dirasakan semakin hari semakin berat, Rasulullah SAW kemudian memerintahkan sebagian sahabat untuk pergi mencari suaka ke Habasyah hingga situasi aman.
Sebagai sosok yang pemberani, gagah, dermawan, dan orator ulung, sebagaimana ditulis al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala, Ja’far diangkat Nabi Muhammad SAW sebagai kepala rombongan.
Singkat cerita, pada tahun ke-5 masa kenabian rombongan yang berjumlah 82 orang ini berangkat ke Habasyah.
Setibanya di Habasyah, Raja Habasyah yang bernama Najasyi (Negus) memerintahkan pasukannya untuk membawa rombongan ini ke Mahkamah untuk diinterogasi.
Dalam kitab Bihar al-Anwar dikisahkan bahwa dengan suara yang tegas dan berwibawa Ja’far bin Abi Thalib berkata kepada Raja Najasyi, “Wahai Baginda Raja! Kami dahulu adalah orang-orang yang jahil, penyembah berhala, memutus silaturahim, buruk kepada tetangga, yang kuat memangsa yang lemah, sehingga Allah SWT mengutus seorang Rasul di tengah-tengah kami, dari bangsa kami sendiri. Dia mengajak kami agar mengesakan Allah dan tidak mempersekutukannya dengan apa pun. Dia memerintahkan kami agar berkata jujur, menunaikan amanah, memelihara silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, dan menahan diri dari perbuatan tercela.”
“Karena ajaran-ajarannya itu, kami pun membenarkannya, memercayainya, dan mengharamkan apa yang diharamkan serta menghalalkan apa yang dihalalkannya. Karena itu pula kami dimusuhi kaum kami sendiri. Kami disiksa, dianiaya, dan difitnah. Hingga kami terpaksa pindah ke negeri Baginda. Kami memilih Baginda bukan yang lain, dan kami berharap agar tidak teraniaya di sisi Baginda,” lanjut Ja’far dengan retoris.
Dalam pertemuan ini, Ja’far pun membacakan surat Maryam yang berisi kedudukan Maryam dan Nabi Isa dalam ajaran Islam. Ketika mendengarkan ayat-ayat al-Quran, Najasyi menangis.
Setelah mendengarkan penjelasan Ja’far, Raja Habasyah ini kemudian menjamin keamanan orang-orang muslim untuk tinggal di negerinya. Ketika datang orang-orang Quraisy menebus rombongan dengan membawa hadiah, agar mereka dipulangkan ke Mekah, Raja Najasyi menolak mentah-mentah.
Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir mencatat bahwa orang-orang Muslim di Habasyah menetap selama kurang lebih 14 tahun hingga berakhir pada tahun ke-6 H. Tetapi menurut Ibnu Sa’ad, mereka menetap selama 15 tahun hingga tahun ke-7 H.
Komandan perang Mu’tah
Setahun berselang setelah sampai di Madinah, Ja’far bin Abi Thalib langsung ditugaskan Rasulullah SAW untuk menjadi komandan perang pengganti Zaid bin Haritsah menuju Mu’tah untuk melawan pasukan Romawi.
Tepatnya pada bulan Jumadil Awal pada tahun ke-8 H. al-Thabari dalam Tarikhnya menulis, “Setelah Zaid syahid, komando pasukan diambil alih Ja’far dan kembali melanjutkan peperangan. Dikisahkan bahwa pasukan musuh mengelilinginya hingga ia turun dari kuda untuk menghadapi mereka. Pada pertarungan itu kedua tangan Ja’far putus oleh tebasan musuh sehingga ia gugur sebagai syahid.”
Menurut catatan al-Thabari, Ja’far bin Abi Thalib wafat di usia yang masih terbilang muda yaitu 41 tahun dan menjadi orang yang ke-10 syahid dalam perang tersebut. Ia bersama syuhada Mu’tah lainnya dimakamkan di Mazar, suatu tempat di dekat Mu’tah (Yordania).
Dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah karya Abu Na’im al-Asbihani tercatat sebuah riwayat hadis sebagai berikut:
عَن ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ، وَقَالَ: إِنَّ جِبْرِيلَ أَخْبَرَنِي أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ اسْتَشْهَدَ جَعْفَرًا، وَأَنَّ لَهُ جَنَاحَيْنِ يَطِيرُ بِهِمَا مَعَ الْمَلَائِكَةِ فِي الْجَنَّة
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tatkala datang berita duka tentang Ja’far, Nabi SAW datang kepada Asma binti ‘Umais (istri Ja’far), dan berkata kepadanya, “Sungguh Jibril mengabarkan kepadaku bahwasanya Ja’far adalah syahid di hadapan Allah SWT. Ja’far diberikan dua sayap untuk terbang bersama malaikat di surga.” Wallahu A’lam.
Discussion about this post