Jambi, Sitimang.com – Abu Ubaidah bin al-Jarrah berangkat menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keimanan mereka. Mereka inilah yang dikenal dengan sebutan as-Sabiqun al-Awwalun (orang-orang pertama yang masuk Islam).
Punya Predikat Amin al-Ummah (Kepercayaan Umat)
Ada beberapa cerita tentang kedudukan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di sisi Rasulullah SAW. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sungguh bagi setiap umat terdapat orang kepercayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah Ibnu al-Jarrah (Inna likulli ummatin amiinan wa amiinu hadzihi al-ummah Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah).”
Dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala dikutip riwayat dari Abdullah bin Umar yang bertanya kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin, “Siapkah di antara para sahabat yang paling dicintai Rasulullah saw?” Jawab ‘Aisyah: “Abu Bakar, kemudian Umar, lalu kemudian Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Dilansir dari bincangsyariah.com, tidak hanya keutamaan yang bersumber dari nabi, para sahabat pun mengakui keunggulan Abu Ubaidah. Dikisahkan ketika Nabi Muhammad SAW telah wafat para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukan figur yang tepat untuk memimpin umat Islam. Abu Bakar berkata, “Aku telah ridha yang memimpin kalian di antara dua laki-laki ini.” Kemudian Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah Ibnu al-Jarrah.
Terlibat dalam Pengumpulan Mushaf Al-Qur’an
Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah sahabat yang secara intelektual cukup menonjol. Ia termasuk dari panitia pengumpulan mushaf al-Quran di masa Abu Bakar. Kemudian Abu Ubaidah juga memiliki beberapa riwayat yang tercatat dalam Sahih Muslim, Jami’ karya Abu ‘Isa, dan musnad-musnad lain. Adapun para tabi’in yang memiliki sanad dari Abu Ubaidah di antaranya adalah al-‘Irbadh bin Sariyah, Jabir bin Abdullah, Abu Umamah al-Bahili, Samurah bin Jundab, Aslam, dan Abdurrahman bin Ghanam. Secara nasab, Abu Ubaidah adalah dari kalangan Quraisy, masih memiliki garis keturunan yang sama dengan Rasulullah SAW.
Cekatan di Medan Perang namun Tetap Rendah Hati
Selain dari aspek intelektual dan nasab, Abu Ubaidah termasuk sahabat yang lincah dan cekatan di medan perang dan juga dikenal sebagai orang yang tawadhu. Informasi ini tergambar dalam kitab al-Maghazi karya Musa bin ‘Uqbah sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala.
Disebutkan bahwa tatkala perang Dzat al-Salasil yang dipimpin ‘Amr bin ‘Ash, pasukan muslim cukup kesulitan dan butuh bala bantuan. Kemudian Rasulullah mengirim pasukan tambahan dengan pimpinan Abu Ubaidah Ibnu al-Jarrah. Setibanya pasukan tambahan tadi, ‘Amr bin ‘Ash kemudian berkata kepada rombongan itu, “Aku pemimpin kalian (Ana Amiirukum).” Rombongan itu mengelak dan berkata, “Anda pemimpin pasukanmu sendiri, pemimpin kami Abu Ubaidah.” Melihat hal ini, Abu Ubaidah tidak tinggal diam. Karena ketawadhuan dan kebaikan akhlaknya, Ia langsung menyerahkan panji kepada ‘Amr bin ‘Ash (fasallama al-imarah li ‘Amr).
Pada masa kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq, pasca berjibaku dengan para pemberontak dari kelompok orang-orang murtad dan para pendukung Nabi palsu, Abu Ubaidah termasuk panglima perang yang diutus untuk membebaskan Syam dari pendudukan Byzantium. Bersama sama dengan pasukan Yazid bin Abu Sufyan, ‘Amr bin ‘Ash, dan Syurahbil bin Hasanah.
Pada saat yang bersamaan dengan pasukan ke Syam, Abu Bakar juga mengutus pasukan Khalid bin Walid menuju Irak. Terjadilah peperangan demi peperangan melawan cengkeraman Byzantium (Romawi Timur) di Jazirah Arab. Setelah pasukan Khalid berhasil menaklukkan Irak, Abu Bakar memerintahkan pasukan Khalid untuk membantu pasukan yang berada di Syam. Khalid memotong jalan melewati padang pasir untuk menuju Damaskus, bagian dari wilayah Syam yang saat itu sedang terjadi pertempuran dengan pasukan Byzantium.
Di tengah terjadinya perang, Abu Bakar sebagai khalifah sekaligus panglima tertinggi wafat di Madinah pada tahun 13 H. Estafet kepemimpinan digantikan Umar bin Khattab. Kebijakan Umar untuk pasukan yang berada di Damaskus adalah dengan menunjuk Abu Ubaidah Ibnuu al-Jarrah untuk menggantikan posisi panglima perang Khalid bin Walid. Namun ketika perintah itu datang kepada Abu Ubaidah, ia tidak langsung mengumumkannya kepada pasukan karena sifat rendah hati (tawadhu) dan khawatir dapat memecah konsentrasi pasukan.
Baru setelah Damaskus sudah berhasil dikuasai dan pasukan muslim sudah cukup tenang, Abu Ubaidah mengumumkan bahwa dirinya ditunjuk sebagai pimpinan pasukan. Abu Ubaidah memutuskan untuk melakukan perjanjian damai dan berjanji melindungi rumah dan tempat ibadah mereka.
Setelah melewati berbagai peperangan, pada akhirnya Abu Ubaidah bin al-Jarrah, seorang sahabat yang santun, tawadhu, sekaligus cekatan di medan perang, wafat pada tahun 18 H di usia 58 tahun pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Ibnu al-Jarrah berjasa besar bagi perkembangan Islam di masa awal hingga menyebar ke berbagai penjuru jazirah Arab.
Discussion about this post