Hamdan Zoelva adalah sosok sentral di balik keputusan hukum penting setengah dekade ini. Di antaranya ketukan palunya ke meja majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Indonesia memiliki Presiden ke-7, yaitu Joko Widodo dan memutuskan pemilu serentak—yang baru saja kita lalui.
Tentu publik masih ingat ketika pada Pilpres 2014, Prabowo-Hatta Rajasa juga mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Sama, ada drama saksi-saksi, perdebatan–yang jadi semacam deja vu (perasaan mengingat kembali) bagi Hamdan–yang kala itu menjabat ketua MK. “Dulu itu kayaknya lebih seru he-he,” ujarnya.
Kini, Hamdan aktif dalam kegiatan masyarakat. Terutama di Syarikat Islam. Di organisasi ini ia memegang jabatan Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah. Selain itu ia juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai konsultan dan pengacara di Zoelva & Partners.
“Sebenarnya ada tawaran dari kubu 01 dan 02 untuk terlibat di sidang sengketa Pilpres 2019. Namun saya gak mau,” ujarnya saat wawancara dengan Heru Triyono dan Andya Dhyaksa, serta fotografer Wisnu Agung di kantornya, lantai 23 Gandaria 8 Office Tower, Jakarta Selatan, Kamis (20/6/2019).
Meski sikapnya masih formal, tapi ia beberapa kali tertawa. Berbeda jauh dengan sosoknya dulu ketika menjadi hakim yang cenderung diam dan cemberut. Ia pun sudah bebas main golf yang ketika menjadi hakim sulit dilakukan. “Saya main golf itu dari tahun 1991. Sudah hobi,” ujar pria yang baru ulang tahun ke-57 ini.
Sore itu, ia spesifik bicara soal saksi di sengketa Pilpres 2019 dan efeknya pada pengambilan keputusan hakim, serta tentang pemilu serentak. Berikut perbincangan selama satu jam tersebut:
Menurut Anda, hakim yang memimpin sidang sengketa pilpres kali ini bersikap cukup adil?
Saya lihat pengadilan memberi kesempatan yang fair dan transparan.
Pihak pemohon, termohon dan pihak terkait leluasa mengajukan dalil-dalil, bukti-bukti, termasuk saksi-saksinya. Masyarakat bisa menilai sendiri.
Saksi ini jadi sorotan. Tidak semua pertanyaan dijawab dengan baik oleh mereka dalam sidang, bahkan tampak keteteran…
Makanya, saksi itu harus memiliki kekuatan pembuktian. Meski keterangannya tak langsung ia rasakan, tapi harus ada bukti-bukti lain yang jadi satu rangkaian utuh.
Sehingga, saat keterangannya diaudit, bisa menjadi bukti kuat. Saksi ini merupakan alat bukti yang menentukan.
Ada alat bukti yang dipertanyakan. Misalnya berupa link berita. Apakah alat bukti seperti ini menentukan?
Bisa saja. Asalkan ada keterangan saksi dan alat bukti lain yang kuat. Itu bisa jadi petunjuk penting.
Kalau tidak didukung alat bukti lain, link berita ini lemah?
Lemah, tapi tidak salah. Itu tadi, kalau bisa dibuktikan oleh bukti lain dalam satu rangkaian, maka itu kuat.
Tapi kalau link berita saja tanpa bukti lain, pasti diabaikan.
Artinya sebagai alat bukti, link media itu tidak bisa berdiri sendiri?
Tanpa bukti lain gak ada guna. Harus ada verifikasi. Benar atau enggak, kejadiannya di mana, dan ada saksi langsung. Ya faktual. Tidak cuma hanya berita.
Jadi, apa sebenarnya bukti konkret yang bisa memengaruhi keputusan hakim MK?
Prinsipnya, dalil itu harus didukung bukti kan. Kalau dalil tanpa bukti, namanya pernyataan kosong atau imajiner.
Misalnya, dalilnya itu ada pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan masif). Ya tunjukkan ada pelanggaran yang melibatkan penyelenggara atau birokrat pemerintah atau pengawas.
Tunjukkan ada perintah dan caranya bagaimana. Sehingga itu benar-benar TSM, yang merusak sendi-sendi pemilu.
Sebagai mantan hakim MK, sulit kah membuktikan adanya pelanggaran TSM itu?
Tidak mudah. Apalagi selisihnya besar. Tapi bukan tidak mungkin. Bisa saja.
Khofifah bisa membuktikan kecurangan TSM pada sengketa hasil Pilgub Jatim 2008 di MK, meski tetap kalah pada akhirnya…
Pada kasus pilkada cakupannya lebih sempit. Saya kira Khofifah contoh pertama. Ada juga di beberapa kabupaten yang bisa buktikan TSM. Tapi tetap tidak mudah.
Kalau melihat saksi-saksi yang dihadirkan kuasa hukum Prabowo-Sandi, apa ada indikasi kuat terjadi TSM?
Saya tidak ingin menyimpulkan sidang. Biarkan saja masing-masing punya pandangan sendiri.
Oke. Apakah logis apa yang jadi tuntutan mereka. Salah satunya minta Jokowi-Ma’ruf didiskualifikasi?
Kalau bisa membuktikan dalil-dalilnya ya logis saja meminta Jokowi didiskualifikasi. Kan tergantung alat bukti dan pembuktiannya.
Salah satu bukti dari kuasa hukum Prabowo-Sandi adalah rekaman cuplikan video. Ini cukup kuat?
Tidak bisa dijadikan bukti kalau tidak bisa diverifikasi. Kejadian di mana, jam berapa, kapan, siapa yang melakukannya, yang merekam siapa, harus ada semua.
Kalau cuma video saja ya enggak bisa.
Apakah hakim MK bisa menolak atau mempercepat keterangan saksi yang kesaksian dan alat buktinya lemah dalam sidang?
Enggak boleh. Hakim itu harus sabar dan mau mendengar keterangan saksi. Meski punya kewenangan (menolak) itu.
Biar efektif. Soalnya kalau dalam prosesnya saksi itu justru seperti didiskreditkan atau jadi dagelan, bukannya jadi tidak baik di mata publik?
Keadilan itu ada dua. Keadilan dalam proses dan keadilan dalam keputusan hakim.
Keadilan dalam proses itu jangan sampai ada orang merasa diabaikan. Kita harus hormati saksi dan yang mengajukannya.
Meskipun atribusi dari saksi itu juga kurang jelas?
Pengadilan itu tidak hanya bicara keputusan. Bisa saja ketok dan bilang gak ada urusan.
Tapi kebebasan orang mengungkapkan apa saja yang menurut dia penting, itu juga keadilan. Jangan pengadilan itu menutup kesempatan orang bicara.
Tapi kalau tidak sesuai ketentuan bagaimana? Undang-undang yang baru kan sudah memisahkan antara penyelesaian sengketa proses pemilu dan sengketa hasilnya. Kenapa jabatan calon wakil presiden 01 dipersoalkan juga di MK?
Bisa saja. Biarkan hakim yang menilai. Yang jelas, memang sudah dipisahkan antara sengketa proses pemilu dengan sengketa hasilnya.
Kalau sengketa proses itu diselesaikan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu atau secara pidana.
Sebagai mantan hakim MK, tepat gak mempersoalkan jabatan Ma’ruf Amin di bank syariah?
Kalau saya boleh saja. Pemohon mau apa saja boleh. Jangan larang-larang orang mengajukan apa. Boleh semua. Itu prinsip dasar.
Seperti membuktikan money politic yang notabene pidana dibawa ke pengadilan MK ya?
Itu contoh perkara yang pernah dibawa ke MK dan dikabulkan.
Artinya, semua ini tergantung pada alasan dan pembuktian saja pada akhirnya. Jadi hakim itu tidak bicara satu tambah satu sama dengan dua.
Harus mempertimbangkan betul segala aspek.
Salah satu poin yang mencuat adalah penggunaan penyebutan “Mahkamah Kalkulator”. Menurut Anda?
Saya dari dulu juga tidak ingin MK jadi mahkamah kalkulator. Tapi kalau pun gak pakai kalkulator, MK juga tidak boleh memutus dengan imajinasi.
Jadi keadilan itu harus dikaitkan dengan kebenaran dan pembuktian, bukan hanya rasa saja.
Anda merasa deja vu ketika mengikuti suasana sidang sengketa Pilpres 2019 di MK saat ini?
Ya, tapi agak beda ya dengan 2014. Secara umum sama, TSM juga. Tapi dalil-dalil pelanggarannya agak beda.
Ada perdebatan di antara hakim MK ketika itu dalam membuat beberapa keputusan?
Tergantung substansinya. Kalau sama materi hukumnya kuat, debatnya itu panjang. Bisa berhari-hari. Kalau sederhana, apa gunanya diperdebatkan.
Pada 2014 tidak terlalu rumit. Kan kita sampaikan ada kasus yang terbukti, tapi tidak signifikan.
Bicara independensi hakim. Bagaimana hakim MK berlatar belakang partai politik, sejauh apa tarik menarik kepentingannya di dalam?
Saya sendiri dari partai politik. Gak masalah. Apa urusannya. Satu hakim saja kan tidak bisa menentukan.
Di sana ada sembilan hakim. Tentu, satu hakim tidak bisa mendikte yang lain.
Sebagai hakim MK sarat pengalaman, Anda tidak ditawari menjadi kuasa hukum salah satu paslon dalam sengketa Pilpres kali ini?
Pokoknya semua minta lah. Ha-ha-ha.
Termasuk KPU?
Semua. Tapi saya bilang tidak. Gak enak. Saya kan dulu saya ketua di MK.
“Kebebasan orang mengungkapkan apa saja yang menurut dia penting, itu merupakan keadilan”
Hamdan Zoelva
Pelaksanaan Pemilu Serentak yang baru saja kita lalui adalah hasil keputusan MK pada 2014 lalu. Evaluasi Anda?
Pemilu itu pasti ada pelanggarannya. Masalahnya, seberapa banyak dan besar pelanggarannya, nah itu yang dilihat.
Kalau hanya satu dua pelanggaran, kemudian pemilu diulang, berapa banyak uang negara habis.
Tapi banyak korban jiwa, bagaimana?
Saya lihat tidak semuanya karena pemilu serentak. Ini karena petugasnya stres.
Tekanan sosial yang luar biasa ini disebabkan di pemilu ini hanya ada dua paslon. Jadi, ada polarisasi di sana.
Orang tidak enjoy masuk ke pemilu ini. Mereka masuk dengan ketegangan.
Kalau beban petugas, dari dulu juga berat. Dulu di satu TPS bisa sampai 500, sekarang hanya 300 orang.
Saya mengusulkan, biar gak banyak korban, sudah dicoblos partai politiknya saja. Sederhana.
Anda masih aktif di partai politik ya?
Sudah enggak. Saya independen. Sedang sibuk di organisasi sosial dan sebagai pengacara di Zoelva & Partners he-he.
Oke. Seandainya Anda jadi kuasa hukum Prabowo-Sandi, apa yang harus dilakukan dalam sidang sengketa ini untuk bisa menang?
Sulit.
Discussion about this post