Pencatatan janggal atas laba belasan miliar rupiah dalam laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk. tahun anggaran 2018 berakhir buntung bagi pihak maskapai.
Jumat (28/6/2019), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan sepakat menyatakan laporan keuangan yang disusun Akuntan Publik (AP) Kasner Sirumapea tersebut melanggar sejumlah aturan. Konsekuensinya, Garuda dan auditornya harus menanggung sederet sanksi.
Pertama, OJK memerintahkan Garuda menyusun ulang laporan keuangan tahunannya serta melakukan paparan publik (public expose) atas perbaikan tersebut paling lambat 14 hari setelah ditetapkannya surat sanksi.
Kedua, menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100 juta kepada maskapai karena pelanggaran Peraturan OJK Nomor 29/POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
Ketiga, sanksi administratif berupa denda masing-masing Rp100 juta kepada seluruh anggota direksi Garuda atas pelanggaran Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.11 tentang Tanggung Jawab Direksi atas Laporan Keuangan.
Keempat, mengenakan denda sebesar Rp100 juta secara tanggung renteng (bersama-sama) kepada seluruh anggota direksi dan dewan komisaris Garuda yang menandatangani laporan keuangan tahunan tersebut.
Kelima, membekukan Surat Tanda Terdaftar (STTD) milik Kasner Sirumapea, auditor dari kantor akuntan publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan. Serta meminta KAP yang bersangkutan melakukan perbaikan kebijakan dan prosedur pengendalian mutu.
Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan merespons sanksi yang dijatuhkan kepada perseroan sebagai sebuah hal yang tidak proporsional dan sangat gegabah.
“Kami menghormati pendapat regulator dan perbedaan penafsiran atas laporan keuangan tersebut. Namun, kami menegaskan kembali bahwa kami tidak pernah melakukan rekayasa,” kata Ikhsan, dalam pernyataan resminya.
Dalam pembelaannya, kontrak dengan PT Mahata Aero Teknologi—sumber kejanggalan laporan keuangan–baru berjalan 8 bulan. Adapun komitmen pembayaran secara tertulis dan disaksikan oleh notaris sebesar $30 juta AS dan akan dibayarkan pada Juli 2019 atau dalam waktu yang lebih cepat.
Sisa kewajiban bakal disetor ke Garuda dalam waktu 3 tahun dan dalam kurun waktu tersebut akan ditanggung dengan jaminan pembayaran dalam bentuk stand by letter credit (SBLC) dan atau Bank Garansi dari bank terkemuka.
Sedikit catatan, SBLC adalah janji tertulis yang diterbitkan oleh bank untuk beberapa keperluan nasabah.
Misalnya, memberi jaminan seandainya pemohon tidak memenuhi kewajibannya atas dasar kontrak yang menyebabkan terjadinya klaim SBLC dan selanjutnya bank penerbit akan melakukan ganti rugi finansial sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan.
Sementara Bank Garansi adalah janji tertulis baik bersyarat atau tidak bersyarat, yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan nasabah. Adapun jaminan yang diberikan apabila pemohon tidak memenuhi kewajiban, maka bank penerbit akan mengganti kerugian secara finansial sesuai syarat yang berlaku.
Ikhsan turun menekankan, kerja sama inflight connectivity yang diteken perseroan bersama Mahata adalah bagian dari upaya mendapatkan tambahan revenue dari sisi pendapatan iklan serta subsidi silang terhadap harga tiket. Lagipula, Garuda juga tidak mengeluarkan biaya sepeser pun atas kerja sama ini.
“Sehingga nantinya harga tiket Garuda Indonesia akan lebih terjangkau dan dapat menjawab keluhan masyarakat luas,” tuturnya.
Kerja sama “necis”
Polemik laporan keuangan Garuda berawal dari penolakan dua komisaris perseroan untuk menandatangani laporan buku tahunan 2018. Dua komisaris tersebut adalah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.
Protes dua komisaris itu berpangkal pada pembukuan keuntungan sebesar $809,85 ribu AS (sekitar Rp11,54 miliar), melonjak drastis neraca 2017 yang mencatatkan kerugian hingga $216,58 juta AS.
Chairal dan Dony lalu mempertanyakan realisasi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas dalam Penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dengan dua anak perusahaan Garuda; PT Citilink Indonesia dan PT Sriwijaya Air; yang diteken 31 Oktober 2018.
Melalui kesepakatan ini, Garuda diklaim mendapat keuntungan hingga $239,94 juta AS (sekitar Rp2,98 triliun)—termasuk $28 juta AS di antaranya adalah bagi hasil Garuda dengan PT Sriwijaya Air.
Laporan keuangan maskapai dengan kode emiten GIAA itu menyebutkan kerja sama antara Mahata berlaku hingga 15 tahun. Kontrak disepakati lantaran Mahata berkomitmen untuk menyediakan layanan konektivitas internet (on board WiFi) dan hiburan pesawat lainnya.
Dari nilai kontrak sebesar $239,94 juta AS itu, Mahata ternyata baru membayar $6,8 juta AS. Sisanya kemudian dicatatkan sebagai piutang lain-lain. Pencatatan itu yang kemudian membuat laporan keuangan Garuda Indonesia menjadi necis.
Jika tidak ada pencatatan pemasukan dari perjanjian tersebut, perusahaan seharusnya masih rugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan mencapai $4,58 miliar AS, sekitar $206,08 juta AS lebih besar dibanding total pendapatannya.
Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23 memang mengizinkan pengakuan pendapatan meskipun pada transaksi tersebut belum ada kas yang tercatat masuk (basis akrual).
Akan tetapi, pendapatan yang boleh diakui harus memenuhi beberapa persyaratan di antaranya dapat diukur secara andal sesuai dengan ekspektasi manfaat ekonomi yang akan didapat ke depannya.
Hingga kuartal I/2019, Mahata ketahuan belum menyetorkan kas kepada Garuda. Hal ini bisa dibuktikan dari tidak adanya penurunan nilai pada pos piutang usaha yang terkait dengan kesepakatan.
Bukan hanya itu, jika nantinya terjadi wanprestasi atas kesepakatan tersebut, harta kekayaan Mahata sepertinya tidak akan cukup untuk menjadi jaminan. Sebab, modal yang dimiliki Mahata hanya sebesar Rp10 miliar sementara nilai perjanjiannya mencapai Rp3,41 triliun.
Discussion about this post