LEBARAN -atau lebih tepatnya pasca-lebaran- selalu identik dengan fenomena urbanisasi. Masyarakat pedesaan dalam jumlah besar berbondong hijrah ke perkotaan dengan imajinasi tentang kehidupan yang lebih layak. Tahun ini, diprediksikan tidak kurang dari 71.000 pendatang baru akan membanjiri Jakarta -kota yang kerap dianggap mampu mewujudkan sejuta impian orang desa.
Sebagian dari kaum urban itu barangkali akan berubah nasibnya menjadi lebih baik. Namu tidak menutup kemungkinan sebagian lainnya akan tergilas oleh kerasnya kehidupan ibu kota, dan justru menjadi beban bagi Jakarta itu sendiri.
Pemerintah memang tidak tinggal diam dalam merespons fenomena urbanisasi yang dalam banyak hal telah membidani lahirnya problem sosial khas perkotaan. Solusi jangka pendek yang biasanya diambil pemerintah daerah/kota ialah dengan melakukan operasi yustisi. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan masuknya pendatang ilegal yang tak memiliki dokumen kependudukan serta tak memiliki tempat tinggal dan juga pekerjaan yang jelas.
Dalam konteks jangka panjang, pemerintah juga berupaya memangkas kesenjangan ekonomi antara wilayah perkotaan (urban) dan pedesaan (rural). Salah satunya melalui program Dana Desa yang mulai digulirkan sejak tahun 2015. Dana Desa dialokasikan khusus dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dari tahun ke tahun, jumlah anggaran dan penyerapan Dana Desa mengalami peningkatan. Ketika pertama kali diluncurkan pada tahun 2015, anggaran Dana Desa mencapai 20,76 triliun rupiah dan serapannya mencapai 82 persen. Di tahun 2016, pemerintah menganggarkan 46,98 triliun rupiah Dana Desa dengan penyerapan sebesar 97,65 persen.
Anggaran Dana Desa juga meningkat pada tahun 2017 menjadi 60 triliun rupiah dengan serapan mencapai 98,54 persen. Pada tahun 2018, jumlah Dana Desa telah mencapai 62 triliun rupiah dengan total serapan 99 persen.
Tahun ini, anggaran Dana Desa mencapai 70 triliun rupiah atau naik 16,67 persen dari tahun lalu. Jika ditotal, tidak kurang dari 258 triliun rupiah telah disalurkan pemerintah untuk 74.957 desa di seluruh wilayah Indonesia.
Kurang optimal
Namun demikian, gelontoran ratusan triliun dari kas negara untuk desa itu nyatanya tidak lantas menganulir fenomena urbanisasi. Meski mengalami penurunan dibanding era tahun 1980-1990an, namun sampai saat ini arus migrasi penduduk dari desa ke kota dalam jumlah besar terus terjadi.
Data Kementerian Keuangan pada tahun 2018 menyebut, angka pertumbuhan urbanisasi di Indonesia mencapai 4,1 persen. Angka itu lebih tinggi dari pertumbuhan urbanisasi China yang mencapai 3,8 persen dan India yang mencapai 3,1 persen.
Di kawasan Asia Tenggara, angka pertumbuhan urbanisasi Indonesia merupakan yang tertinggi. Diprediksikan, pada tahun 2025 terdapat tidak kurang dari 68 persen dari total populasi akan tinggal di wilayah perkotaan.
Lebih spesifik dalam konteks Jakarta, Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah pendatang baru di Jakarta mengalami peningkatan sekitar 2 persen setiap tahunnya. Arus balik lebaran menjadi momen terjadinya lonjakan urbanisasi musiman ke Jakarta.
Pada arus balik lebaran tahun 2016 misal, jumlah pendatang baru di Jakarta mencapai 68.000 orang. Pada momen yang sama setahun setelahnya, jumlah pendatang telah mencapai 70.000 orang.
Jika ditambah dengan pendatang baru di luar momen arus balik lebaran, pendatang baru di Jakarta mencapai tidak kurang dari 100. 000 setiap tahunnya. Jumlah itu tentu sangat besar mengingat daya dukung Jakarta dalam hal ketersediaan tempat tinggal layak dan lapangan pekerjaan.
Kenyataan ini merupakan sebuah ironi. Di satu sisi, pemerintah berupaya keras menjadikan desa sebagai salah satu subyek pembangunan nasional dengan aliran dana berlimpah. Sayangnya, di sisi lain, animo masyarakat untuk bermigrasi ke kota tetap besar.
Hal ini menandai adanya persoalan terkait kurang optimalnya penggunaan Dana Desa. Harus diakui bahwa penyerapan Dana Desa memang terbilang tinggi. Namun, tingginya persentase penyerapan itu tidak berbanding lurus dengan menurunnya angka kemiskinan masyarakat desa.
Hasil penelitian lembaga Odesa Indonesia menyebut, sejak digulirkan pertama kali, Dana Desa hanya bisa menurunkan angka kemiskinan masyarakat desa sebesar 3,6 persen. Angka itu terbilang rendah ketimbang target pemerintah yang menargetkan penurunan kemiskinan masyarakat desa sebesar 8-9 persen per-tahunnya.
Kurang optimalnya Dana Desa, utamanya dalam konteks menurunkan angka kemiskinan masyarakat desa sekaligus meredam arus urbanisasi dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya dua masalah pokok.
Pertama, porsi terbesar Dana Desa selama ini lebih sering digunakan untuk belanja langsung seperti membayar gaji perangkat desa dan pembangunan infrastruktur fisik. Hal ini memang tidak menyalahi aturan. Namun demikian, besarnya alokasi pada dua hal tersebut menjadikan anggaran untuk pemberdayaan masyarakat desa menjadi kecil.
Konsekuensinya, terdapat sekelompok masyarakat yang tidak terdampak oleh aliran Dana Desa. Mereka ini umumnya merupakan kelompok usia muda, lulusan sekolah menengah yang membutuhkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang dan latar belakang pendidikannya.
Ironisnya, penggunaan Dana Desa umumnya kurang menyentuh aspek pemberdayaan kaum muda pedesaan. Alhasil, banyak angkatan kerja asal pedesaan yang lebih memilih hijrah ke kota, bekerja di sektor semi-informal bahkan non-formal.
Kedua, maraknya penyelewengan Dana Desa. Laporan Beritagar.id bertajuk Ladang Basah Korupsi Dana Desa(02/03/2019) menyebut, hingga tahun 2017 terdapat setidaknya 115 kasus korupsi Dana Desa yang melibatkan sekurangnya 122 terdakwa. Dari 122 terdakwa tersebut, 78,7 persennya merupakan kepala desa, lalu bendahara desa sebanyak 8,2 persen, staf desa lainnya 4,9 persen serta pihak lain sebanyak 8,2 persen. Total kerugian negara akibat korupsi Dana Desa ditaksir mencapai 20,16 miliar rupiah.
Pembenahan
Pada titik inilah diperlukan pembenahan dalam pengelolaan Dana Desa agar lebih optimal dalam menurunkan angka kemiskinan sekaligus meredam laju urbanisasi. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan dalam hal ini.
Pertama, penggunaan Dana Desa idealnya lebih banyak diorientasikan untuk peningkatan kualitas sumber daya masyarakat desa dan mengembangkan ekonomi masyarakat pedesaan. Ini artinya, keberadaan Badan Usaha Masyarakat Desa (BUMDes) harus diperbanyak.
Dalam catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT), jumlah BUMDes hingga November 2018 mencapai 41.000 unit atau sekitar 60 persen dari total desa di seluruh Indonesia.
Dari jumlah tersebut, tidak semua berkembang dengan baik dan menjanjikan. Ribuan BUMDes bahkan dikelola secara kurang profesional. Rendahnya kompetensi kepala dan perangkat desa adalah faktor utama mengapa banyak BUMDes tidak berkembang atau bahkan gagal di tengah jalan.
Dalam konteks inilah penting kiranya bagi pemerintah desa menjalin kerja sama dengan pihak lain yang memiliki kemampuan profesional untuk memetakan, mengelola serta mengoptimalkan potensi desanya. Pemerintah desa bisa membangun kerjasama dengan ahli-ahli dari universitas atau lembaga pendidikan untuk melakukan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat desa di berbagai bidang.
Tidak kalah penting ialah melibatkan masyarakat dalam merencanakan, mengelola dan menggunakan Dana Desa agar tercipta birokrasi keuangan desa yang transparan dan akuntabel. Jika dua hal itu terwujud, Dana Desa bisa dipastikan akan dapat mengoptimalkan penurunan kemiskinan masyarakat desa dan dengan sendirinya arus urbanisasi dapat diredam.
Discussion about this post