Badruddin berusaha mengingat-ingat. Pendangannya ia fokuskan hingga kerut di antara kedua matanya terlihat cukup jelas. Kepalanya ia posisikan menengadah ke langit. Tak lama kemudian, kata-kata itu ia keluarkan dari mulutnya.
“Pas zaman gubernurnya Anies (Baswedan), seingat saya belum pernah melakukan pengerukan sebelah sini,” ucap Badruddin. Ketua RT 02, RW 17, Penjaringan, Jakarta Utara itu, tengah menggambarkan kondisi Waduk Pluit yang letaknya bersemuka dengan wilayahnya itu.
Hari-hari terakhir ini, kondisi waduk tersebut menjadi sorotan sejumlah media–pun media sosial. Pangkal bahasannya adalah, kondisi waduk yang namanya diambil dari sebuah kapal Hindia-Belanda, Het Whitte Paert, itu begitu memprihatinkan.
Kondisi waduk dalam kondisi hampir kering. Timbunan tanah bercampur berbagai jenis sampah terlihat dengan mata telanjang. Bahkan, lewat akun media sosial Twitter, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti, sampai ikut berceloteh.
Sebenarnya, kondisi memprihatinkan tersebut tak terjadi pada seluruh sisi waduk yang memiliki luas sekira 80 hektare itu. Hanya sebagian–klaim Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sekitar 30 persen–dari luas waduk yang mengalami kekeringan.
Tepatnya, yang sebelah selatan, berbatasan dengan tempat penampungan sampah sementara warga sekitar. Maksud Badruddin “yang sebelah sini” di atas, adalah wilayah bagian selatan waduk.
Meski demikian, menurut Badruddin, kondisi demikian memang baru kali ini terjadi sejak lebih dari 5 tahun lalu. “Zamannya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dulu, begini juga. Tapi nggak sekering sekarang ini,” kata Badruddin kepada Beritagar.id, Rabu (12/6/2019) kemarin.
Badruddin menceritakan, di zaman Ahok, sampah dan pasir yang mengendap di Waduk Pluit rutin dikeruk. Paling tidak, beko selalu tersedia di bibir danau. Kondisi ini juga terjadi saat Jakarta dipimpin oleh Joko “Jokowi” Widodo, yang saat ini menjadi Presiden RI.
Namun, di zaman Anies, intensitas pengerukkan tersebut menurun cukup jauh. Sepanjang ingatan Badruddin, baru kali ini Pemrpov melakukan pengerukkan Waduk Pluit di bagian selatan.
“Zamannya Anies, kayaknya hanya sebagian yang dikeruk rutin. Sebelah sini (selatan), nggak. Baru kali ini saja dikeruk,” katanya. “Soal perawatan lingkungan, jujur bagusan zamannya Ahok. Selalu ada yang ngeruk.”
Polarisasi masyarakat pasca-Pemilihan Umum DKI Jakarta pada 2017 lalu, membuat saya tergelitik untuk menanyakan jawaban Badruddin apakah dipengaruhi pada sentimen politik.
Dia secara tegas mengatakan tidak. “Jujur di zamannya Ahok saya malah was-was. Karena banyak penggusuran kan? Kemarin saja rumah saya mau digusur,” kata Badruddin. “Saya ngomong apa adanya.”
Hal senada diungkapkan Bunga, sebut saja namanya demikian. Mengenakan pakaian seragam khas Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) DKI Jakarta, Bunga mengatakan, kondisi Waduk Pluit di zaman Ahok lebih baik.
“Di zaman pak Ahok, kondisi lingkungan lebih bersih. Nggak pernah waduk sampai kering begitu,” kata Bunga kepada Beritagar.id (12/6).
Sedikit berbeda dengan jawaban Badruddin, menurut Bunga, proses pengerukkan Waduk Pluit sempat mandek. Sepanjang yang diingat Bunga, mandeknya proses pengerukkan mulai terjadi pasca-Anies menjadi Gubernur.
“Udah lama banget mandek. Ini aja karena lagi viral banyak beko (traktor) di sini, bisa lima sampai tujuh kali sekarang. Kemarin pak Walikota (Jakarta Utara) sampai ke sini” ucap Bunga.
Ada sedikit hal yang membuat Bunga mahfum mengapa pengelolaan Waduk Pluit di zaman Ahok lebih baik ketimbang Anies. Musababnya, rumah Ahok berdekatan dengan waduk, yakni di Perumahan Pantai Mutiara.
Posisi Waduk Pluit bisa dibilang cukup strategis di jantung Kota Jakarta. Pasalnya, waduk tersebut menampung limpahan dari beberapa kali besar dan belasan kali kecil. Untuk kali-kali besar, sebut saja ada Kali Ciliwung Gajah Mada, Kali Cideng, dan Kali Tubagus Angke.
Meski demikian, sejatinya waduk yang selesai dibangun pada 1981 tersebut mampu menampung semua tumpahan material dari kali-kali tadi. Setidaknya, menurut Badruddin, ia dan warganya tak pernah lagi merasakan banjir sejak 2013.
Dan memang, menurut catatan BPBD DKI Jakarta yang Beritagar.id peroleh, dalam satu semester awal 2019 saja misalnya, level air Waduk Pluit tak pernah berada dalam posisi tinggi. Maksimal, minus 145 meter.
Sekadar catatan, pada awalnya, Waduk Pluit dibuat oleh Pemprov DKI sedalam 10 meter. Lantas, seiring berjalannya waktu, kedalaman waduk menyusut menjadi hanya 2-3 meter saja. Dengan asumsi tersebut, maka semakin tinggi minusnya, semakin sedikit debit air.
Namun, ada anomali yang terjadi kini jika melihat dari sisi ketinggian air. Dalam triwulan kedua pada lima tahun terakhir, posisi paling rendah level air waduk bukan terjadi pada saat ini, kala permukaan air tampak sangat kasat dan menjadi tak enak dipandang.
Yakni, saat pemerintahan DKI Jakarta masih dipegang oleh Ahok, atau 5 April 2015 dengan level air tertinggi berada pada minus 2,20 meter. Terendah kedua, berada pada 3 Mei 2015, 3 April 2016, dan 10 April 2016, saat tinggi air minus 2,00 meter.
Sedangkan pada triwulan kedua 2019, level air paling rendah berada pada minus 1,85 meter, yakni 12 Mei. Masalahnya, menurut Badruddin, di zaman Ahok, tak pernah air sedemikian surut dan membuat permukaan waduk tampak seperti saat ini.
“Dulu masih ada airnya, nggak separah sekarang,” katanya. Hal ini pun diamini Bunga.
Menurut Pemprov DKI Jakarta, kondisi keringnya waduk terjadi karena pihaknya tengah melakukan pengerukkan sedimen danau. Untuk dapat melakukan hal itu, prosedurnya, air harus dikeringkan, sehingga material sampah mampu diangkat.
Selama ini waduk dalam kondisi bersih. Sekitar Februari ada operasi pengambilan enceng gondok. Dan kini sedang ada pelaksanaan pengerukan sedimen.
Yusmada Faizal
Proses itu, disebut oleh Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Yusmada Faizal, dilakukan sejak akhir bulan lalu, tepatnya 25 April, hingga Agustus mendatang.
“Kami tengah melakukan pengerukan sedimen hingga mencapai dasar waduk. Rencananya hingga kedalaman 1,2 meter sampai dengan 2 meter di bawah Low Water level minus 1.90,” kata Yusmada kepada Beritagar.id.
Yusmada menampik pendapat dari Badruddin dan Bunga. Menurutnya, selama ini pemerintah rutin melakukan pengerukkan. Jadwalnya? Tak pasti. Menurutnya, pengerukkan dilakukan tergantung sedimentasi waduk.
“Selama ini waduk dalam kondisi bersih. Sekitar Februari ada operasi pengambilan enceng gondok. Dan kini sedang ada pelaksanaan pengerukan sedimen,” ucapnya, Kamis (13/6) pekan lalu, kepada Beritagar.id.
Jadwal pengerukkan sedimen ini, menurut Yusmada, tak menyalahi ketentuan yang ada. Waduk memang dikeruk kala cuaca memasuki musim panas.
“Saat musim kering (panas) sekarang lah efektif melakukan pengerukan. Agar saat datang hujan lokal seketika (cuaca ekstrim) dan untuk mempersiapkan musim hujan berikutnya, waduk siap menampung volume air hujan,” ujarnya.
Kini, keringnya kondisi waduk itu sudah kadung menyebar luas dengan berbagai argumen di belakangnya. Atas kondisi ini, Yusmada pun berterima kasih kepada masyarakat.
Sebab, dengan viralnya kondisi ini, merupakan bentuk perhatian masyarakat Ibu Kota atas Jakarta. “Terima kasih kami untuk warga peduli dan memberikan perhatian yang penuh kepada pelayanan Pemprov,” katanya.
Discussion about this post