Jambi, Sitimang.com – Peneliti sosial, Kenneth Olwig, pernah menyebutkan bahwa persoalan bentang alam harus lebih memperhatikan hukum sosial dan keadilan daripada hukum alam atau estetika.
Agaknya kritik mengenai bentang alam beserta seluruh kerusakan lingkungan itulah yang menjadi ruh pertunjukan Teater Potlor yang bertajuk Talang Tuwo: Glossarium Project, yang dipentaskan dalam rangkaian Temu Teater Se-Sumatera, di Taman Budaya Jambi.
Selama hampir satu jam, ratusan penonton yang memadati Teater Arena pada Sabtu malam (3/7) dibius dengan kodefikasi tubuh para aktor Teater Potlot yang lebih banyak “menubuhkan” sebagai bentuk verbalitas komunikasi sehingga menjadi sebuah teks yang mampu dinikmati penonton teater di Jambi.
Secara simbolik, lima orang aktor Teater Potlot mengajak penonton untuk menyadari pentingnya menjaga keseimbangan bentang alam agar tidak terjadi kerusakan. Satu-persatu aktor Teater Potlot menggunakan “tubuh” sebagai panggung teater dan menyampaikan cuplikan peristiwa sosial, lingkungan hingga isu antropologi yang terjadi di sekitar masyarakat.
“Teater Potlot berusaha merespons kondisi pengelolaan lanskap atau bentang alam oleh industri perkebunan sawit dan HTI akasia di Sumatera Selatan. Masalah degradasi lingkungan hari ini sangat kompleks. Entah mulai dari mana teater membahasakan kinerjanya,” ujar Conie Sema beberapa waktu lalu.
“Tubuh” para aktor secara kontinyu menjadi media utama untuk menyampaikan rasa, bahasa dan sastra sekaligus menarasikan dialog bagai kamus alias glosarium dan ditimpali gerak simbolik serta kinetik pertunjukan yang dikombinasikan menggunakan buah sawit, mikrofon, buku bacaan hingga papan triplek.
Mendekati akhir pertunjukan, para aktor bahkan mendekati penonton sembari membagi-bagikan papan triplek yang memiliki sejumlah tulisan berkaitan dengan prasasti Talang Tuwo dan persoalan bentang alam. Secara spontan, ratusan ikut “berteater” sambil mengucapkan kata yang simbolik seakan-akan sedang berdemonstrasi menyampaikan persoalan kerusakan bentang alam.
“Potlot ingin menghadirkan “praktik memori” sekaligus mengaktifkan potensi kritis dan mencegah sejarah agar tidak dibaca dari logika dokumen dan arsip museum yang beku sebagai monumen masa lalu Kita coba keluar sejenak dari pusaran artefak teks teater dan kinerja tanda yang ada,” tegasnya pada sitimang.com (gun)
Discussion about this post