Cerita zaman perang di Indonesia (1945-1949) tidak selalu berkisar pada kisah-kisah sedih dan menyeramkan. Selalu ada cerita-cerita konyol, naif dan lucu di baliknya. Seperti dialami oleh Raden Makmur saat melibatkan diri sebagai pelaku revolusi di wilayah Sukabumi dan Cianjur.
Suatu hari Makmur yang saat itu berusia 16 tahun ditugaskan oleh komandannya di BBRI (Barisan Banteng Repoeblik Indonesia) memeriksa setiap penumpang yang baru saja turun dari kereta api di Stasiun Salajambe, Cianjur. Kala itu proklamasi baru saja berkumandang. Semangat kemerdekaan tengah membuncah dan mengucapkan kata “merdeka” sambil mengepalkan tinju kanan merupakan kewajiban setiap orang: tak peduli tua atau muda.
Di pintu peron, Makmur bersama beberapa kawannya (dengan bambu runcing di tangan) berjaga. Setiap ada penumpang yang tidak berteriak “merdeka” maka mereka akan segera menegurnya secara keras. Bahkan memukulnya jika itu seorang lelaki sepantaran mereka. Seorang remaja kampung yang buta huruf ketahuan tidak mengucapkan kata “merdeka” begitu turun dari kereta api. Tanpa banyak bicara, dia kemudian digelandang dan ditampar keras oleh Makmur.
“Kang salah saya apa?!” protes sang remaja kampung dalam bahasa Sunda.
“Kamu tidak mengucapkan “merdeka”, tahu!” teriak Makmur sambil memelototkan matanya.
“Merdeka itu apa?” tanya sang remaja lagi
Ditanya demikian, Makmur bingung. Dia lantas menanyakan kepada kawan-kawannya. Semuanya menggelengkan kepala.
“Apa Kang, itu merdeka?”
“Ahhhh! Saya juga tidak tahu! Pokoknya saya diperintahkan komandan begitu ya harus begitu! Kamu jangan melawan saya!” ujar Makmur, pura-pura marah (padahal bingung juga).
Makmur juga pernah punya pengalaman lucu. Saat bertugas ke Sukabumi pada akhir 1945, kusir sado (delman) yang membawanya dari Stasiun Sukabumi terus berkoar tentang semangat revolusi dan telah tibanya zaman merdeka.
“Memang apa Kang zaman merdeka itu?” tanya Makmur yang sekarang berusia 90 tahun itu.
“Zaman bebas, zaman semua serba tidak bayar: naik kereta tidak bayar, naik bus tidak bayar, makan di restoran Cina tidak bayar. Pokoknya enaklah!” jawab sang kusir seenaknya.
“Wah kalau begitu saya naik sado ini tidak bayar juga dong?” tanya Makmur.
“Eitssss! Bayar dong! Ini mah lain,” jawab sang kusir.
Dalam waktu yang sama, di Bandung remaja-remaja seusia Makmur juga bergerak melawan tentara Inggris yang terdiri dari pasukan bule, Gurkha (Nepal) dan India (Sikh, Hindustan dan Pakistan). Namun ada kalanya, permusuhan antara mereka harus terhenti karena…lapar. Aleh (91) bercerita, suatu hari saat mereka tengah berjaga-jaga di batas demarkasi (saat ini di rel kereta api Jalan Sumatera), dua tentara BIA (British India Army) mendekati mereka sambil membawa bendera putih. Ketika sudah dekat terjadilah dialog dalam bahasa isyarat dan “bahasa Inggris gaya Bandung” saat itu.
Salah seorang serdadu BIA itu menyatakan keinginannya untuk mendapatkan seekor ayam dan akan membelinya dengan harga mahal. Tentunya dia menyatakan itu dalam bahasa isyarat tangan yang melukiskan kepala seekor ayam yang sedang mematuk makanan. Aleh dan kawan-kawannya cepat paham.
“Oh kokok (bunyi ayam dalam bahasa Sunda). Okelah! I kokok you Tommygun (jenis senjata yang biasa dibawa tentara Inggris),” ujar Aleh. Maka berlangsunglah tawar menawar dalam “bahasa tarzan” dengan kesepakatan akhir: seekor ayam ditukar dengan beberapa granat tangan dan keju.
Soal “bahasa Inggris gaya Bandung” itu juga disebutkan dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo dan Ummy Latifah Widodo. Dari pengalaman seorang bekas pejuang Bandung bernama Suparyadi, mereka mengisahkan tentang upaya-upaya para pejuang Bandung meyakinkan para serdadu BIA asal India yang beragama Islam (sekarang Pakistan) untuk tidak memerangi bangsa Indonesia.
“You muslim, I muslim, teretet no!” teriak para pejuang Bandung yang sebagian besar terdiri dari remaja-remaja tanggung itu.
Teretet adalah istilah anak-anak Sunda untuk menirukan bunyi senjata, laiknya kata “dor” dalam bahasa Indonesia atau “bang” dalam bahasa Inggris. Apakah tentara-tentara BIA itu mengerti? Sepertinya lambat laun mereka paham juga. Buktinya orang-orang Pakistan itu banyak yang membelot ke kubu tentara Republik dan ikut berjuang bukan hanya melawan Inggris saja tetapi juga tentara Belanda.
Discussion about this post