PADA masa lalu, daging merupakan makanan mewah bagi orang Aceh. Sehari-hari mereka lebih banyak mengkonsumsi sayuran dan ikan. Mereka akan mengganti menu harian saat tiba bulan istimewa: Ramadan.
Masyarakat Aceh berusaha membeli daging pada hari mameugang untuk dimakan bersama keluarga. Tradisi turun-temurun ini membuat permintaan daging sapi atau kerbau menjelang Ramadan sangat tinggi.
Kebiasaan itu dijumpai Snouck Hurgronje ketika tinggal di Aceh dari 1857 hingga 1936. Ia mencatatnya dalam De Atjehers yang terbit pada 1893.
Sajian Khas
Bagi orang Aceh, puasa merupakan kesempatan untuk memakan makanan yang bergizi. Tiga hari menjelang puasa, mereka ramai-ramai membeli dan memakan daging. Sisanya diawetkan dengan garam dan cuka atau cara lain agar bertahan paling tidak hingga 15 hari.
Menurut Moehammad Hoesin dalam Adat Atjeh, daging kering khas Aceh yang diawetkan dengan garam, asam, dan dikeringkan, disebut Sie balu. Sedangkan Siemeutjuka adalah daging yang dimasak dengan cuka enau supaya tahan lama.
Biasanya orang Aceh juga menyiapkan bahan bubur kanji dari daun-daun kayu gunung yang disebut breueh kanji masam peudaih. Daun ini ditumbuk dan disimpan baik-baik sehingga tak masuk angin. Mereka juga membuat tepung beras ketan dan tepung beras biasa, serta gula dan agar-agar untuk buka puasa.
“Orang Aceh menganggap mempersiapkan pangan untuk puasa sebagai adat yang tak boleh diabaikan,” kata Hoesein.
Tiga hari sebelum bulan puasa, orang Aceh akan memastikan stok makanan cukup selama sebulan. Ini dilakukan agar tidak membeli makanan terlalu banyak selama bulan puasa. Pasalnya, bahan makanan yang dijual biasanya lebih cepat habis pada siang hari selama Ramadan. Pasar-pasar pun sepi selama tiga hari itu.
Bahkan, sebelum perang melawan Belanda akan ada pekan raya di Banda Aceh selama tiga hari sebelum puasa. Sebagian besar penduduk dari tiga sagi akan datang ke ibu kota kerajaan itu.
“Baik laki-laki maupun perempuan di Aceh sangat bersemangat melakukan kesibukan ini,” kata Snouck.
Kendati selama pekan raya itu banyak pedagang yang menjual beragam kebutuhan, daging tetaplah primadona. Karenanya stok daging menjelang sebulan berpuasa harus benar-benar dijaga.
Pada saat itu penduduk dari dataran tinggi turun membawa ternaknya untuk dijual. Ini demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging.
Menjaga Pasokan Daging
Sejak pertengahan Sya’ban biasanya para keuchi’ (kepala atau bapak gampong) dan teungku (seseorang yang dihormati karena memiliki kelebihan ilmu) memperkirakan seberapa banyak daging yang dibutuhkan masyarakat. Masing-masing penduduk ditanya berapa uang yang akan dibelanjakan untuk daging. Mereka juga akan menghitung berapa banyak ternak yang harus dibeli.
“Dua atau tiga kepala adalah jumlah perkiraan umum untuk setiap gampong,” catat Snouck.
Keuchi’ menunjuk seorang penduduk gampong untuk mengumpulkan uang warga. Ia menerima upah setelah pekerjaannya selesai.
Sebelum masa perang, upah itu biasanya ditunda sampai menjelang berakhirnya bulan puasa, saat penduduk dari dataran tinggi membawa ternaknya. Penyembelihan akan dilakukan untuk menyediakan daging bagi perayaan yang menandai berakhirnya puasa. Tapi kali ini tak sebesar yang pertama.
Snouck mengamati kebiasaan berbeda masyarakat di tiga sagi. Masyarakat Mukim XXII yang tinggal di bagian tengah dan selatan Aceh dan sebagian dari Mukim XXVI di bagian timur Aceh, biasanya menyembelih beberapa ekor sapi. Sementara masyarakat Mukim XXV di bagian barat yang tak masuk dalam tiga sagi, lebih suka menyembelih kerbau jantan.
“Diyakini terlalu banyak makan daging sapi akan mengakibatkan penyakit siawan atau sariawan, gejalanya kulit melepuh, gigi busuk, dan rambut rontok,” kata Snouck.
Menurut sejarawan Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, hari kurban merupakan perayaan tahunan yang paling bermakna, namun perayaan sebelum dan sesudah bulan puasa juga diadakan secara besar-besaran.
“Di Aceh bulan puasa diawali dan diakhiri dengan suara mendentum yang keras dari meriam,” kata Reid.
Hoesin menyebut puasa adalah masa ketika masyarakat menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka akan kembali ke pekerjaan masing-masing sesudah puas berhari raya dengan anak istri. Lazimnya sesudah puasa syawal.
“Mereka bersama keluarga hidup tenang selama puasa. Tak bekerja keras sebagaimana bulan lainnya,” jelasnya.
Bahkan, pemerintah kolonial Belanda tak menyuruh orang kerja rodi saat bulan puasa. Mereka tahu keamanan akan terganggu bila menyuruh orang bekerja di bulan puasa.
Discussion about this post