Jambi, Sitimang.id – “Manusia yang diidamkan tanah adalah manusia yang menghidupkan cahaya kalbu di dalam tanah, namun, demi kebebasan, selalu saja waktu diperdayai. Padahal rentang kebahagiaan manusia bersetubuh dengan tanah, kan diukur seberapa dekat getaran hati menghampiri panggilan-Nya”.
Pertunjukan Manusia Idaman Tanah yang digelar Jumat-Sabtu (4-5 Maret 2022) di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi merupakan produksi ke 48 dari Teater Art in Revolt (AiR) Jambi. Karya teater yang ditulis dan disutradarai oleh E.M Yogiswara ini berdurasi sekitar 75 menit dan digelar dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Selain menyuguhkan pementasan, Teater AiR Jambi juga menggelar peluncuran antologi puisi E.M Yogiswara dengan judul yang sama (Manusia Idama Tanah). Pertunjukan ini terselenggara berkat dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi UPTD. Taman Budaya Jambi, Paman Coffe Special, Pi’Tek Obong dan berbagai komunitas seni di Jambi.
Karya Manusia Idaman Tanah adalah upaya menginterpretasi kosa kata sebagai basis untuk mengeksplorasi kosa gerak. Formulasi gerak yang ditemukan kemudian dijadikan bisnis akting untuk merespon setiap kata. Proses ulang-alik ini dilakukan untuk meleburkan dua disiplin, yaitu sastra dan tubuh. Sastra dan tubuh memiliki media ungkap yang berbeda, media sastra adalah tulisan dan media tubuh ada tampilan (performance). Meskipun demikian keduanya memiliki korelasi yang linier, dimana tubuh dan sastra dapat saling mencipta satu sama lain.
Sebagaimana yang dijelaskan melalui pengantar dramaturgi dari pertujukan Manusia Idaman Tanah yang dibertajuk Sastra Tubuh dan Tubuh Sastra: “Tubuh melahirkan sastra dan sastra melahirkan ritual tubuh”. Eksplorasi ulang-alik sastra tubuh dan tubuh sastra mencoba menemukan ruang jelajah baru untuk membuka ruang interpretasi yang lebih luas. Meskipun demikian, upaya mengartikulasikan makna melalui dua media yang tumpang tindih memiliki resiko yang cukup tinggi. Dimana penonton kemungkinan dapat kehilangan fokus antara menikmati teks yang diucapkan dan teks yang ditubuhkan. Namun, melalui pertunjukan Manusia Idaman Tanah kemungkinan tersebut berhasil diminimalisir melalui permainan para aktor yang mampu
meleburkan antara sastra dan tubuh. Sehingga penonton tidak lagi menyaksikan sastra dan tubuh sebagai bagian yang terpisah, melainkan menyaksikan tubuh sastra yang telah melebur di dalam tubuh aktor.
Manusia Idaman Tanah tidak menyuguhkan cerita yang memiliki alur linier, melainkan hadir dalam beberapa fragmen yang berbasis dari sajak-sajak yang termuat di dalam antologi puisi Manusia Idaman Tanah. Meskipun demikian, kausalitas setiap adegan tetap terjaga keterkaitannya, sehingga penonton tetap dapat memahami benang merah pertunjukan.
Karya ini digerakkan kearah gaya postrealistik, dimana aktor tidak memerankan tokoh yang memiliki biografi yang jelas, tetapi aktor hadir sebagai simbol dan media pengartikulasian makna. Karena tidak ada cerita, maka yang dikedepankan adalah kesan dan pesan. Melihat bagaimana aktor mengeksplorasi tubuhnya, terlihat bahwa garapan Manusia Idaman Tanah memberi ruang kepada aktor untuk turut serta menjadi kreator. Setiap gestur yang diwujudkan aktor begitu tidak berjarak dengan diri aktor dan komposisi gerak yang hadir sesuai dengan kapasitas tubuh aktor. Artinya, kosa gerak yang ditemukan tidak sepenuhnya berasal dari luar diri aktor, melainkan beberapa bisnis akting sangat jelas memperlihatkan bahwa skenografer juga melibatkan aktor dalam mengeksplorasi dan menemukan kosa gerak.
Secara tematik, Manusia Idaman Tanah mengusung ide yang sangat religius. Karya ini mengingatkan kepada kita bahwa mati adalah keniscayaan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memaknai dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Sebagai drama religi, nampaknya E.M Yogiswara telah memilih teater sebagai media dakwahnya. Menyaksikan Manusia Idaman Tanah memberikan pengalaman untuk merasakan efek katarsis. Kiranya tidak begitu berlebihan jika mengatakan bahwa pertunjukan Manusia Idaman Tanah berhasil mencapai katarsis, karena tidak hanya menghibur, pertunjukan ini juga menawarkan
terapi yang dapat menyucikan dan merevitalisasi aspek kejiwaan penonton.
Pertunjukan ini tidak hanya menyentuh secara intelektual, tetapi juga menyentuh hingga ke aspek spiritual. Pertunjukan ini begitu menampar manusia yang terlalu sibuk kepada urusan dunia yang sementara dan melupakan hal yang lebih hakiki, yaitu akhirat. (Ril)
Discussion about this post