Anthonius Malau, Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pengendalian Konten Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berulang kali diminta memblokir iklan rokok di situs berita daring dan platform media sosial. Akhir April lalu, dalam sebuah diskusi bertajuk Tantangan dan Peluang Pelarangan Total Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok di Media Online, hal tersebut kembali disampaikan masyarakat antitembakau.
“Jika Kemenkes berani mengeluarkan aturan yang menyatakan produk rokok dilarang diiklankan, termasuk di internet, maka Kominfo akan melarang semua konten iklan rokok di internet,” jawabnya ketika itu.
Mendengar pernyataan itu, Theresia Sandra Diah Ratih yang duduk satu panel dengan Antonius meradang. Menurut Kasubdit Penyakit Paru Kronik dan Gangguan Imunologi, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2TPM) Kemenkes, Kominfo tak perlu menunggu Kemenkes untuk mengendalikan promosi produk tembakau.
Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau mengatur dengan jelas hal tersebut. Antara lain Pasal 27 dan 30 yang membatasi paparan iklan rokok di media berbasis teknologi informasi (TI) dengan cara memverifikasi umur pengguna internet.
“Iklan di televisi yang mengatur Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), iklan media cetak Dewan Pers, kalau iklan di internet itu kewenangan Kominfo,” sanggah Theresia.
Kominfo, lanjutnya, perlu membatasi akses iklan rokok bagi pengguna internet yang berumur di bawah 18 tahun dengan cara memverifikasi umur. Apalagi hasil riset Tobacco Control Support Center–Ikatan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) menunjukan bahwa remaja usia 10-18 tahun paling banyak terpapar iklan rokok lewat internet, seperti YouTube, website, Instagram, juga game online.
Badan Pengendalian Obat dan Makanan (BPOM) mencatat rata-rata 20 iklan rokok sembulan (pop-up) per-hari di portal berita. Namun, regulasi pembatasan iklan yang berlaku saat ini tak mampu mengawasi peredaran iklan rokok di internet.
Menurut Kasubdit Pengawasan Produk Tembakau BPOM, Moriana Hutabarat, pengawasan iklan di media daring jauh lebih sulit ketimbang media penyiaran dan media massa konvensional. Pasalnya, tak mungkin menerapkan pembatasan berdasarkan jam tayang untuk iklan di internet. Selain itu, Kominfo selalu berdalih kesulitan menerapkan verifikasi umur untuk iklan.
“Maka sebaiknya iklan rokok di internet memang dilarang total saja,” ia menyarankan.
Berdasarkan amatan Jaring.id, hampir semua situs berita daring nasional memuat iklan rokok. Utamanya berasal dari tiga produsen rokok raksasa seperti PT. Djarum, PT. HM Sampoerna Tbk, dan PT. Gudang Garam Tbk. Meski demikian, belum ada data yang menunjukan secara spesifik jumlah belanja iklan rokok di media daring.
Survei Nielsen terhadap belanja iklan rokok di media konvensional, seperti televisi, surat kabar, majalah, tabloid dan radio beberapa tahun terakhir menurun. Pada 2016, belanja iklan rokok menembus angka Rp 6,4 miliar pertahun. Sementara pada 2017 sebesar 5,4 miliar dan menjadi sebesar Rp 5,9 miliar pada tahun lalu.
Menurut Direktur Pemasaran dan Komunikasi Nielsen, walaupun pada 2018 ada peningkatan nilai belanja iklan dibandingkan dengan 2017, namun terjadi penurunan dalam jumlah spot iklan. Spot iklan yang tercatat mencapai 159.694, sedangkan tahun lalu hanya 142.919 spot iklan.
“Peningkatan nilai belanja iklan tersebut lebih didorong oleh naiknya harga atau rate iklan,” ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada Jaring pada Rabu, 29 Mei 2019.
Merujuk pada data tersebut, peneliti Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Ridhwan Fauzi mensiyanlir adanya peralihan iklan rokok dari media konvensional ke daring. Hal ini merupakan ancaman serius bagi remaja pengakses internet.
“Sebagai perusahaan profit oriented mereka (perusahaan rokok) tidak melepas begitu saja, pasti ada shifting ke tempat lain. Untuk media online sendiri kita tidak punya data, tetapi dugaan kita ke media online,” ia meyakinkan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dhyatmika tak menampik bahwa situs berita daring saat ini merupakan etalase bagi produsen rokok. Namun ia meyakinkan, selama ini media sudah berupaya melindungi publik lewat pemberitaan. Antara lain mengulas produk maupun gaya hidup yang berbahaya bagi kesehatan, termasuk rokok.
“Di satu sisi, AMSI menyadari bahaya dari perilaku merokok bagi kesehatan, terutama generasi muda. Di sisi lain, pengaturan atas wilayah bisnis anggota asosiasi juga memerlukan waktu dan proses. Mengingat beragamnya profil anggota AMSI,” kata Wahyu Dhyatmika lewat keterangan tertulis yang diterima Jaring.id pada 22 Mei 2019.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra kepada Jaring.id mengaku prihatin dengan pengaruh iklan rokok di media daring terhadap anak. Bagi industri rokok, anak-anak hanya dijadikan target, agar usaha mereka tidak bangkrut.
“Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, maka industri akan bangkrut. Anak-anak memang menjadi taget iklan rokok,” ungkapnya kesal.
Hasil riset TCSC-IAKMI yang dilakukan di 16 kabupaten/kota sejak 2017 menunjukan bahwa remaja usia 10-18 tahun paling banyak terpapar iklan rokok. Hal tersebut sejalan dengan profil pengguna internet yang dirilis Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018. Sebanyak 91 persen remaja usia 15-19 tahun tercatat menggunakan internet.
Sementara itu, Riset Kesehatan 2018 menunjukkan kalau prevalensi perokok remaja menyentuh angka 9,2 persen. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2019 menargetkan angka perokok remaja bisa turun hingga level 5,8 persen.
Pengajar London School Public Relation (LSPR) Jakarta yang juga terlibat dalam penelitian, Kiki Suwarno mengungkapkan bahwa sekitar 10 persen remaja rentan menjadi perokok setelah menonton iklan di internet.
“Siapapun yang bisa mengakses dunia online dan teknologi pasti terpapar iklan rokok,” katanya ketika ditemui Jaring.id pada 10 Mei 2019.
Meski begitu, iklan rokok tidak akan serta merta membuat seseorang merokok. Menurut peneliti Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Ridhwan Fauzi, iklan rokok saat ini berusaha membingkai perilaku tanpa resiko. Caranya membius dengan menampilkan citra positif bagi anak muda, seperti kegiatan alam bebas, arti kesetiakawanan, hingga toleransi.
“Keputusan seseorang untuk merokok memang panjang. Tidak serta merta hari ini iklan, besok langsung merokok. Tetapi setidaknya iklan itu menciptakan kesan perilaku merokok adalah biasa, normal,” ungkapnya.
Demikian yang dirasakan Alkindi (19). Mahasiswa semester awal salah satu universitas di Depok, Jawa Barat ini menyatakan sering melihat iklan rokok di media daring. “Iklannya ada di mana–mana,” ungkapnya.
Sementara Widi Alfatah (21) mengaku kagum dengan konten iklan rokok. Lelaki yang sudah mulai merokok sejak sekolah dasar ini sedikit banyak terpengaruh tayangan iklan rokok. Buatnya, iklan rokok membikin dia merasa keren ketika mengepul asap ke udara.
“Apalagi iklan rokok sekarang terlihat premium. Aktornya keren-keren,” kata Widi di warung kopi Margonda, Depok pada 27 Mei 2019.
Oleh sebab itu, Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI, Widyastuti Soerojo menilai upaya pengendalian tembakau membutuhkan aturan rinci dan tegas.
Menurut dia, aturan terkait pengendalian peredaran tembakau seperti PP 109 tidak efektif dan meninggalkan banyak celah. Dalam aturan ini tidak dijelaskan siapa yang berwenang melakukan pengawasan, bagaimana pengawasan dilakukan dan sanksi apa yang dijatuhkan kepada pelanggar.
Hal ini lah yang menjadi sebab Kominfo dan Kemenkes kerap saling tuding terkait kewenangan. “Aturannya ada tetapi itu mandul. Kadang-kadang regulasi itu dikeluarkan, tanpa ada kelayakannya. Asal sudah ada regulasi,” katanya ketika ditemui Jaring.id pada 14 Mei 2019 di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta Pusat.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Gerindra, Sumarjanti Arjoso menganggap pelarangan iklan rokok secara parsial selama ini terbukti tidak efektif melindungi anak dari bahaya rokok. Menurut dia, regulasi yang ada berbanding terbalik dengan tingginya jumlah perokok remaja.
“Pelarangan total iklan rokok di media online sudah saatnya dilakukan,” tegasnya.
Discussion about this post