Belakangan ini mendadak kabar rencana redenominasi rupiah kembali mengemuka. Namun pada Rabu (26/6/2019), Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa rencana penyederhanaan nominal mata uang tersebut masih dalam kajian beberapa lembaga terkait. Selain itu, BI juga masih menunggu arahan dan kebijakan dari pemerintah.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko, dikutip detikcom, menjelaskan bahwa rencana memulai redenominasi pada 2020 tidak jadi dilakukan karena rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi landasan hukumnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.
Onny juga menyatakan bahwa kajian soal redenominasi masih terus dilakukan BI, tetapi ia belum bisa memastikan kapan RUU terkait soal itu akan masuk dalam prolegnas. Apalagi Pemilihan Umum 2019 baru selesai dan anggota parlemen baru akan dilantik pada Oktober.
“Untuk membuat undang-undangnya, kita juga menunggu DPR nya dulu, kan pelantikan nanti Oktober kan. Kalau akan masuk prolegnas nanti kita informasikan. Intinya 2020 itu belum jalan redenominasi,” ujar dia.
Redenominasi adalah penyederhanaan nominal pecahan mata uang menjadi pecahan yang lebih kecil, tanpa mengurangi nilainya. Misalnya, Rp50.000, setelah diredenominasi akan menjadi Rp50. Jadi hanya angka nol-nya saja yang dikurangi.
Mengecilnya nominal mata uang tersebut akan diiringi juga dengan penyederhanaan digit pada harga barang dan jasa, sehingga tidak menekan daya beli masyarakat. Artinya harga barang yang tadinya Rp50.000 juga akan berubah menjadi Rp50.
Redenominasi, mengutip situs resmi BI, berbeda dengan sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya.
Redenominasi sebenarnya sudah pernah diusulkan oleh Darmin Nasution saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pada tahun 2010. Bahkan, pada 2013 naskah RUU Perubahan Harga Rupiah telah selesai disusun. Tapi rencana ini tak dilanjutkan.
Pada 2017, saat BI dipimpin Agus Martowardojo, rencana ini kembali mengemuka. BI meminta Komisi XI DPR RI untuk mendorong RUU Redenominasi atau RUU Penyederhanaan Mata Uang untuk masuk ke Prolegnas 2017 agar pelaksanaannya bisa dimulai pada 2020.
Jika RUU tersebut disetujui pada 2017, tutur Agus ketika itu, penyederhanaan nominal mata uang akan dilakukan selama dua tahun (2018-2019). Setelah itu, mulai 2020 akan berjalan masa transisi penggunaan mata uang dengan nominal baru itu selama lima tahun.
Agus menjelaskan, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran. Setelah itu dilanjutkan dengan penyederhanaan sistem akuntansi dan sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Akan tetapi RUU Redenominasi kemudian gagal masuk Prolegnas 2017. Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, memutuskan untuk tidak mengajukannya ke parlemen karena belum jadi prioritas. Pada saat itu, prioritas pemerintah ada revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Agus, yang juga telah menyampaikan langsung soal pentingnya redenominasi rupiah itu kepada Presiden Joko Widodo, kemudian digantikan oleh Perry Warjiyo. Saat baru dilantik pada April 2018, soal redenominasi ini juga ditanyakan kepada gubernur baru BI tersebut.
“Sudah dirumuskan dan disampaikan ke pemerintah. Proses selanjutnya akan menunggu arahan dari pemerintah,” jawab Perry saat itu (h/t Republika.co.id).
Ketua Komisi XI DPR, Mechias Marcus Mekeng, menyatakan hingga saat ini RUU Redenominasi belum masuk dalam Prolegnas. Namun ia mengingatkan pemerintah agar benar-benar memperhatikan situasi dan kondisi negara sebelum meneruskan rencana redenominasi tersebut agar masyarakat tidak kaget.
Sosialisasi, tegas Mekeng, juga menjadi hal krusial dan harus dilakukan secara masif karena masalah ini menyangkut soal uang.
Discussion about this post