Oleh Hendri F. Isnaeni
Pangeran Diponegoro memiliki banyak senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar pusakanya diberikan kepada putra dan putrinya, kecuali satu keris yang menyertainya ke liang lahad.
Dikutip dari Historia, Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib.
Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo; tombak Kiai Dipoyono kepada Rade Ajeng Impun; dan tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng.
Sejarawan Peter Carey mendata pusaka tersebut dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan bagian apendiks XI.
Pusaka itu ada yang dirampas Belanda. Misalnya, keris Kiai Nogo Siluman diserahkan kepada Raja Belanda Willem I sebagai simbol kemenangan atas Diponegoro.
Belanda merampas keris Kiai Reso Gemilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo. Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat, “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…”
Tombak Kiai Rondan juga dirampas tapi kemudian dikembalikan kepada pemerintah Indonesia dan tersimpan di Museum Nasional.
Selain pusaka itu, Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintulu. Namun, Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya kira-kira Maret 1820 karena ada ramalan yang mengatakan barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta.
Babad Diponegoro juga memuat keterangan tentang keris yang digunakan Diponegoro dalam pertempuran di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Keris itu memiliki bilah penusuk lurus karena disebut sebagai pedang (pedhang).
Keris yang dibawa Diponegoro bahkan menemaninya ke liang lahad adalah Kiai Ageng Bondoyudo. Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai Paduka Tempur Tanpa Senjata. Namun, dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul.
Diponegoro membawa keris itu ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan mencatat dalam jurnalnya: “Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda.”
Menurut Carey meskipun Diponegoro menyebut keris itu pusaka keraton, namun berdasarkan babadnya, Kiai Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo.
Keris Kiai Sarutomo diberikan kepadanya ketika berziarah ke pantai selatan kira-kira musim kemarau tahun 1805.
Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, Diponegoro memperoleh keris kecil itu (cundrik) dari Ratu Kidul ketika khalwat di Cepuri Parangkusumo. Ratu Kidul mengingatkan agar Diponegoro jangan mau mendapat jabatan apapun yang diberikan Belanda.
“Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin.
Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro tatkala dia diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa oleh Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio.
“Keris ini (Kiai Bondoyudo) dibuatnya dari pusaka lain pada tahun kedua Perang Jawa dan lebih sebagai jimat daripada senjata tempur,” tulis Carey.
Keris Kiai Bondoyudo dikubur bersama Diponegoro pada 8 Januari 1855 di Makassar. (***)
Sumber: historia
Discussion about this post