Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, langsung tertarik ketika Tan Jin Sing, bercerita soal candi besar di Desa Bumisegoro, dekat Muntilan. Ia pun meminta Tan Jing Sing melihat candi itu. Sesampainya di sana, Tan Jing Sing mengajak warga desa bernama Paimin sebagai penunjuk jalan.
“Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta, seperti yang dikutip dari Historia.
Niken Wirasanti, arkeolog Universitas Gadjah Mada, dalam “Borobudur: Misteri Batu Tak Berujung” termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, menyebut entah bagaimana asal asulnya candi itu sudah bernama Borobudur. Begitu banyak misteri soal Borobudur hingga persoalan nama pun telah banyak menarik perhatian para ahli dan pemerhati seni untuk menelusurinya.
Raffles dalam History of Java menulis berdasarkan cerita penduduk desa di sekitar candi bahwa Borobudur berasal dari kata boro dan budur. Budur artinya “purba”. Karenanya Borobudur dapat diartikan “boro purba”.
Sementara Raffles sendiri berpendapat Borobudur berasal dari kata boro artinya “agung” dan budur dari kata Buddha. Jadi, arti Borobudur adalah “Buddha yang Agung”.
Pakar sastra Jawa Kuno, R.M. Ng. Poerbatjaraka, menerjemahkan boro dengan “biara” karena ada nama tempat yang diawali dengan kata boro, yaitu Boro Kidul, artinya “Biara di Selatan”.
Kemudian arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim mengartikan Borobudur sebagai “biara di atas bukit” karena buḍur berasal dari bahasa Minangkabau, buduā, artinya “sedikit menonjol” atau “bukit”.
Sedangkan J.L. Moens mengatakan Borobudur merupakan nama Jawa. Asalnya dari kata bhārabudhūr dalam bahasa India Selatan yang artinya “kota”. Jadi, Borobudur artinya “kota Buddha”.
Berbeda lagi dengan filolog Belanda, J.G. de Casparis. Ia mengaitkan Candi Borobudur dengan Prasasti Sri Kahulunan yang dikeluarkan pada 824. Telaahnya menghasilkan istilah bhumisambarabhudara. Nama itulah yang menjadi nama Borobudur.
Interpretasi Casparis itu kemudian populer dan terus dirujuk sebagai acuan tentang berdirinya Candi Borobudur. Pendapatnya mendapat dukungan dari John N. Miksic, peneliti dari Southeast Asian Studies Department, National University of Singapore. Ia juga menyebut kalau kata Borobudur berasal dari bhumisambhara (-bbudhara). Pun sejarawan Slamet Muljana yang menyebut Borobudur berasal dari kata Kamulān Bhūmisambhara.
“Di lingkungan masyarakat ilmiah pendapat itu masih dipermasalahkan dan tetap menjadi misteri yang hingga kini tak henti-hentinya diteliti,” jelas Niken. Karenanya hingga kini asal-usul nama Borobudur masih belum jelas dan masih membuka banyak pendapat..
Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018, berpendapat dalam mencari arti kata Borobudur, langkah awal adalah mencari kata boro dan budur yang terdapat di dalam data tekstual. Utamanya dalam karya sastra dari masa Jawa Kuno. Itu baik berupa prosa, kidung, maupun kakawin.
Candi Borobudur dalam Berbagai Sumber
Secara umum, sumber candi dan sumber tekstual sering tak saling mendukung. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Kewaspadaan Terhadap Candi Borobudur Berdasarkan Data Epigrafis”, termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, menyebut satu-satunya candi yang dapat dikaitkan secara langsung dengan sumber prasasti adalah Candi Kalasan di Yogyakarta, yaitu dengan Prasasti Kalasan dari 778. prasasti itu.
“Tempat pemujaan bagi Tarabhawana, sebuah bangunan suci yang bernama Kalasa sebagai tempat pemujaan umatnya,” kata prasasti itu.
Bangunan suci yang dikaitkan dengan prasasti umumnya hanya berupa penafsiran kecocokan di antara keduanya. “(Contohnya, red.) Uraian gugusan candi yang terdapat dalam prasasti Siwagrha dari 856 dapat disesuaikan dengan susunan kompleks percandian Lara Jonggrang atau Prambanan,” jelas Joko.
Selain dengan keterangan Prasasti Sri Kahulunan, Borobudur juga dihubungkan dengan Prasasti Karangtengah. Di dalamnya terdapat keterangan seorang raja bernama Samaratungga. Putrinya, Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya dan Wenuwana.
Casparis mengaitkan Wenuwana dengan Candi Mendut. Sedangkan arkeolog Soekmono mengidentifikasinya sebagai Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Adapun Jinalaya diduga merujuk pada Candi Borobudur.
Selain dengan prasasti, ada juga karya sastra yang menyebut Borobudur, di antaranya Babad Tanah Jawi. Karya ini diperkirakan ditulis pada abad ke-18. Di dalamnyaada cerita pemberontak Ki Mas Dana yang melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejar dan menangkapnya, kemudian dihadapkan ke sunan , filolog dan sejarawan seni asal Belanda, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam Monumental Java, meyakini Bukit Borobudur itu adalah Candi Borobudur yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu.
Rujukan tentang candi ini diduga yang dimaksud oleh Mpu Pranpanca dalam Nagarakrtagama dari masa Majapahit. Di sana disebutkan salah satu bangunan suci Buddha yang bernama Budur. Ini sesuai dengan tulisan Raffles, History of Java, yang menyebut Candi Borobudur berada di Distrik Budur.
“Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca.
Namun, Titi mengatakan bahwa kata Budur, selain sebagai nama bangunan suci, juga merujuk pada salah satu jenis minuman keras. Dalam tulisannya yang lain, “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno”, yang termuat dalam Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. II.B, Titi mendaftar semua jenis minuman keras, yang ada dalam data tekstual, termasuk budur seperti disebut dalam teks Ādiparwa.
“…Brāhmaṇa tidak makan daging babi yang diternakkan, tidak minum minuman keras, surāpāna namanya minuman keras dan sejenisnya yang disebut tuak, waragaŋ, baḍyag, tuak tal, buḍur, demikian (disebutkan dalam) kitab suci Bagawān Śukra,” catat teks itu. Ada lagi dalam teks Calon Arang: “Tidak lama datang apa yang diminta: tuak, nasik, laukpauk, tampo, brěm, kilang, dan yang lainnya sampai srěbat-buḍur.”
Kemudian dalam Kidung Harsawijaya: “Makanan, minuman keras tidak ketinggalan, tuak, badeg, siwalan, buḍur dan mrěsi, sěrbat bersama dengan arak harum.”
Dengan lebih jelas, Kakawin Kāṇḍawawanadahana (Terbakarnya Hutan Kāṇḍawa), yaitu naskah yang sampai saat ini belum diterjemahkan, menjelaskan asal usul budur. “Membuat perumahan sementara dengan atap dari daun buḍur.”
Titi pun menyimpulkan bahwa buḍur adalah nama tumbuhan sejenis aren atau enau. Airnya bisa dibuat minuman keras dan daunnya dijadikan atap rumah. Karenanya, menurut Titi, tak aneh jika Borobudur bisa diartikan sebagai “biara yang ada di Budur” atau biara yang ada di tempat yang banyak ditumbuhi pohon budur.
Di Indonesia banyak ditemukan nama tempat yang menggunakan nama tumbuhan. Misalnya, seperti di Jakarta, ada Kampung Rambutan, Kebon Nanas, Kebon Kacang, dan Kemang.
Penamaan itu sudah terjadi dulu. Titi mengatakan dalam prasasti banyak nama desa yang memakai nama tanaman. Contohnya Poh (mangga), Bungur, dan Nyū (kelapa).
“Saya setuju dengan pendapat Poerbatjaraka yang menyebut Borobudur adalah biara di Buḍur. Kata Buḍur diambil dari sejenis tanaman aren, yang mungkin pada saat itu banyak ditemukan di tempat itu,” jelas dia.
Sumber: historia
Discussion about this post