Poster Kelas Poligami Nasional yang akan –memberikan tips “Cara Cepat Dapat Istri Empat”– diselenggarakan pada Juli dan Agustus 2019, beredar di masyarakat. Forum Poligami Indonesia selaku penyelenggara memungut biaya 3,5 juta bagi tiap peserta lelaki dan setengah harga untuk peserta perempuan.
Forum macam ini sebenarnya sudah menjadi sorotan Kementerian Agama sejak 2017. “Dalam Islam, poligami memang diperbolehkan tapi dengan syarat ketat. Bukan lantas mengajak-ajak apalagi dengan membayar biaya yang mahal berjuta-juta,” kata Kepala Biro Humas Data dan Informasi Kementerian Agama Mastuki pada Historia.
Praktik poligini (populer disebut poligami) memang jadi bahasan yang penuh pro-kontra antara pendukung dan penentangnya. Namun, praktiknya masih berjalan meski angkanya turun dari tahun ke tahun. Data terakhir dari Kementerian Agama menampilkan penurunan angka poligami. Pada 2012, angkanya mencapai 995. Jumlah itu berturut-turut menyusut jadi 794 pada 2013, 691 (2014), 689 (2015), dan 643 (2016). Angka tersebut adalah angka poligini tercatat yang didaftarkan, sementara poligini yang tidak terdaftar masih banyak ditemui di lapangan.
“Laki-laki menyukai istri yang lebih muda dan yang lebih penurut ketimbang perempuan aktivis, yang mereka pandang lebih sebagai kawan dalam seperjuangan,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Dalam sejarah, keputusan poligini sempat jadi penyebab perceraian terbesar pasca-kemerdekaan. Pada 1951, angka perceraian mencapai 60 persen dan meningkat jadi 62 persen pada 1952. Hampir separuh dari angka perceraian pada 1950-an terjadi di Jawa dan Madura.
Di era kolonial, angka poligini mencapai ribuan lantaran belum adanya peraturan. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut, angka poligini di Jawa pada 1939 menjadi yang tertinggi di antara wilayah lain. Di Sumatera, total angka poligini mencapai 69.790, di Sulawesi mencapai 22.378, dan di Bali juga Lombok sebesar 14.061. Maluku menempati urutan terbawah, yakni 5.150 praktik poligini.
Kebanyakan pelaku poligini datang dari kalangan aristokrat, pegawai sipil bumiputra, santri, dan pedagang besar (juragan). Istri-istri bangsawan yang jumlahnya teramat banyak itu biasanya ditempatkan di keputren. Kadang, saking banyaknya selir, si bangsawan (raja) bahkan sampai lupa siapa saja selirnya.
Jamaknya praktik poligini ini sempat jadi bahasan dominan dalam gerakan perempuan era kolonial di samping upaya memperjuangkan pendidikan dan pergerakan nasional. Mayoritas pidato dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) Pertama 1928 membahas tentang poligini. Untuk mewujudkan lingkungan rumah tangga yang adil dan aman untuk perempuan, para perempuan pejuang mengusulkan pencatatan pernikahan dan penyebutan taklik-talak (sebab-sebab kenapa istri bisa minta cerai).
Konflik pun tak bisa dihindari. Beberapa sayap organisasi perempuan Islam menentang ide penolakan praktik poligini sementara organisasi perempuan lain terang-terangan mendukung penolakan itu.
Dalam KPI II di Jakarta yang dikepalai Sri Wulandari (Sri Mangunsarkoro), kongres berlangsung ricuh. Duduk perkaranya, Sri Wulandari berhasil mengajak Suwarni Pringgodigdo, pemimpin Istri Sedar, untuk ikut KPI. Suwarni yang berhasil dibujuk akhirnya duduk sebagai wakil ketua kongres. Dalam kongres itu ada Ratna Sari, anggota Permi yang berpidato menerima praktik poligini. Sementara Istri Sedar fanatik menolaknya. Kongres pun ricuh. Dua kubu berdebat sengit. Wulandari mencoba menengahi tapi Suwarni kadung kukuh meninggalkan kongres.
Secara pribadi, Wulandari menentang praktik poligini. Pendapatnya pernah dia sampaikan lewat tulisan di Majalah Poesara. Hasrat manusia, tulis Wulandari, ialah biang kerok poligami. Untuk memaparkan pendapatnya ini Wulandari mengutip buku Ahmadiyah De Leerstellingen in de Islam. Menurut Wulandari, Al-Quran hendak mengatur dari yang beristri tak terhingga dibatasi menjadi empat. Namun, pendukung poligami seringkali lupa bahwa anjuran poligami juga diikuti peringatan untuk berlaku adil pada semua istri. Bila tidak dapat berlaku adil, menikahlah dengan seorang saja meskipun ingin menikah dengan lebih dari satu. Syarat adil inilah yang sulit dipenuhi karena tidak semata adil secara fisik, tetapi juga psikis.
“Jika agama sebagai tauladan (richtsnoer) manusia, mengizinkan atau melarang juga, sudah tentulah karena dengan cara itu agama hendak mengatur dan memperbaiki keadaan masyarakat,” kata Wulandari dalam tulisannya yang dimuat Poesara Juni 1934, “Soal Poligami”.
Pendapat Wulandari ini masih berlaku hingga kini melihat maraknya ajakan untuk poligami. Dus, praktik poligini yang tidak didaftarkan membuat posisi istri kedua tidak jauh beda dengan era kolonial. Istri yang perkawinannya tidak didaftarkan tidak punya perlindungan hukum jika terjadi perselisihan.
Discussion about this post