ADVERTISEMENT
Friday | August 22, 2025
  • ADVERTORIAL
  • SELOKO
    • BATANGHARI
    • BUNGO
    • KERINCI
    • KOTA JAMBI
    • MERANGIN
    • MUARO JAMBI
    • SAROLANGUN
    • SUNGAI PENUH
    • TANJABBAR
    • TANJABTIM
    • TEBO
  • METROPOLIS
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
  • OPINI
  • RAGAM
  • RELIGI
Mengabarkan & Terpercaya
Advertisement
  • ADVERTORIAL
  • SELOKO
    • BATANGHARI
    • BUNGO
    • KERINCI
    • KOTA JAMBI
    • MERANGIN
    • MUARO JAMBI
    • SAROLANGUN
    • SUNGAI PENUH
    • TANJABBAR
    • TANJABTIM
    • TEBO
  • METROPOLIS
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
  • OPINI
  • RAGAM
  • RELIGI
No Result
View All Result
  • ADVERTORIAL
  • SELOKO
    • BATANGHARI
    • BUNGO
    • KERINCI
    • KOTA JAMBI
    • MERANGIN
    • MUARO JAMBI
    • SAROLANGUN
    • SUNGAI PENUH
    • TANJABBAR
    • TANJABTIM
    • TEBO
  • METROPOLIS
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
  • OPINI
  • RAGAM
  • RELIGI
No Result
View All Result
Mengabarkan & Terpercaya
No Result
View All Result

SEJARAH: Bersepeda Dari Masa ke Masa

by PISTOL
04/09/2020
in METROPOLIS, RAGAM
Reading Time: 3 mins read
0
1
VIEWS
ShareTweetSend

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro
Sepeda merupakan salah satu moda transportasi yang kini digandrungi masyarakat bukan hanya karena sehat namun sebagian memakainya karena hanya sebatas bagian dari gaya hidup. Lalu bagaimana sejarah sepeda di Indonesia? Berikut ringkasannya seperti yang dirangkum dari historia.id

Pembeda Golongan
Sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel.

Harga sepeda sangat mahal. Setara dengan 1 ons (28,35 gram) emas atau sekarang berharga Rp19 juta. Maka penggunanya pun berasal dari kalangan elite. Jelata kebanyakan hanya mampu membayangkan menaiki kereta angin, sebutan untuk sepeda pada masa kolonial
Kepemilikan sepeda pada segelintir elite menjadikan barang ini sebagai simbol status. “Menjadi simbol pembeda kelas antara pribumi dengan kalangan penjajah atau antara jelata dengan priyayi,” ungkap Ahmad Arif dalam Melihat Indonesia dari Sepeda.

Di sini sepeda telah menjelma lebih dari alat transportasi ke kantor, pasar, atau sebatas jalan-jalan. Karena sepeda di kaki para penjajah dan kaum elite menjadi alat penindasan, maka perlawanan dari rakyat terjajah pun juga datang melalui penggunaan sepeda. Ini dikisahkan Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1978–1983, kelahiran Medan, Sumatra Utara, 8 Agustus 1926.

Nasionalisme Sepeda
Zaman mesin tiba. Auto (mobil) dan sepeda motor masuk ke Hindia Belanda pada 1920-an. Kepemilikan atas keduanya menjadi kebanggaan baru kaum elite. Sepeda sudah tak lagi menarik kaum elite. Sebaliknya, banyak kaum bumiputra mulai memiliki sepeda.

Karena jumlahnya kian banyak, sepeda tak lagi menjadi barang eksklusif. Ia justru jadi sumber pamasukan baru bagi pemerintah kolonial. Caranya dengan mengenakan pajak kepada tiap rumah tangga pemilik sepeda. Ini berlaku umum di seluruh wilayah Hindia Belanda, tetapi besaran pajaknya bergantung kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905.

Pajak sepeda masih berlaku hingga masa Indonesia merdeka. Sebagai bukti sepeda itu sudah lunas pajak, pemilik akan memperoleh tanda di bagian depan sepeda. Dengan begitu, pesepeda tidak akan dihentikan oleh polisi.

Orang tak menganggap pajak ini memberatkan. Penjualan sepeda tetap tinggi dan menjadi alat transportasi andalan masyarakat Indonesia pada dekade 1950-an.

Dalam dekade ini, hasrat orang menggunakan sepeda berkembang lagi lebih dari alat transportasi harian. Saleh Kamah, pemuda berusia 20 tahun asal Manado, menjadikan sepeda sebagai alat untuk mewujudkan impiannya: berkeliling dunia. Dia juga berkasad memperkenalkan Indonesia kepada warga dunia di tiap persinggahannya.

“Bawalah Merah Putih ke seluruh penjuru dunia. Tepuklah dadamu dan katakanlah inilah Indonesia!” kata Sukarno ketika menerima kedatangan Saleh Kamah di Istana Negara, Jakarta, 8 Januari 1955.

Sukarno menghadiahkan sepeda Philips untuk Saleh agar bisa menuntaskan misinya. Tapi Saleh gagal memenuhi impiannya. Dia terempas di Burma pada Februari 1955.

Sepeda Mahal
Lalu orang berpaling dari sepeda sekian lama. Hingga datang kembali kegandrungan terhadapsepeda pada pengujung dekade 1980-an. Pemerintah mengkampanyekan sepeda sebagai alat transportasi untuk mengisi slogan ‘Hidup Sederhana’. Masa ini harga minyak naik. Begitu pula dengan harga bahan kebutuhan pokok.

Sepeda dianggap turut meringankan beban hidup masyarakat. Maka berlomba-lombalah pejabat negara eksis dengan sepeda. Supaya rakyat turut pula bersepeda. Lomba bersepeda dengan gembira (fun bike) juga marak demi memasyarakatkan sepeda Klub penggemar sepeda pun terbentuk, seperti Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta.

Federal, anak perusahaan grup otomotif Astra, menangkap kegandrungan orang terhadap sepeda dengan memproduksi sepeda.

Orang-orang kaya ikut tertular gandrung sepeda. Tetapi mereka enggan asal membeli sepeda. Mereka ingin sepeda yang berbeda dari kebanyakan punya orang. Eksklusivitas adalah kata kunci sebelum membeli. Sepeda-sepeda terbatas berharga mahal adalah incaran mereka.

Sering harga sepeda edisi terbatas lebih tinggi dari motor atau bahkan mobil. Orang-orang kaya membanggakan sepeda itu di hadapan koleganya dan menjadikannya sebagai simbol status.

“Mirip ketika awal-awal orang-orang Belanda di Hindia Belanda memiliki sepeda,” kata Sofian Purnama, dosen di Universitas Indonesia yang sehari-hari bersepeda.

Pengujung dekade 1980-an, pemakaian sepeda mahal hanya terbatas pada hari libur atau untuk melobi kolega. Tak ubahnya seperti olahraga golf. Tahun-tahun belakangan ini, kegandrungan terhadap sepeda berulang kembali. Sebagian besar orang menggunakannya untuk kebutuhan transportasi harian.

Tingkat harga sepedanya masuk kategori murah dan menengah. Terjangkau oleh kebanyakan orang. Selingkaran lainnya mampu membayar lebih untuk sepeda yang harganya jauh dari jangkauan kebanyakan orang. Bedanya dengan generasi lampau, mereka pakai sepeda mahal itu untuk pergi ke kantor. Bukan hanya untuk pamer.

Pengguna sepeda mahal sudah jamak tersua di dalam kereta Moda Raya Terpadu (MRT) dan Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta. Menandakan adanya pertumbuhan kelas atas di Jakarta. Mereka juga membentuk komunitas berdasarkan merk sepeda.

Buat mereka, sepeda bukanlah sekadar alat transportasi. Sejarah terus berulang. Meski itu dilihat dari sebuah sepeda.
Sumber: historia

Tags: bersepedaolahragasepedatrend

Related Posts

Ayo Nikmati “Incredible Night” Bersama Luminor Hotel Jambi

24/06/2025

Traveler, Ada Sunday Story di Luminor Hotel Jambi

08/06/2025

Dorong Percepatan Pembangunan, Walikota Jambi Diskusi Bersama Mensos

18/04/2025

Walikota Jambi Hadiri Peluncuran SIPD RI

17/04/2025

Giatkan Literasi Santri, Ketua TP PKK Kota Jambi Nadiyah Maulana Apresiasi Kegiatan GEMBOOK 30′ di Dua Pondok Pesantren

17/04/2025

Walikota Jambi Terus Sosialisakan Perwal Nomor 6 Tahun 2025

16/04/2025
Next Post

Kemendikbud Beri Paket Internet Gratis Untuk PJJ Cuma-cuma, Bagi Dosen Mahasiswa Ini Caranya

Pasien Sembuh Covid-19 di Jambi 13 Orang, Positif Tambah Satu

Mengenal Topeng Mersam: Debalang Rajo Sehari

Danrem Gapu Terima Audiensi Kepala BKKBN Provinsi Jambi

Haris-Sani Jalani Tes Kesehatan di RSUD Raden Mattaher

Discussion about this post

Media Partner

Ads

<script async src=”https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6217284812823113″
crossorigin=”anonymous”></script>

  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • REDAKSI
  • SITIMANG GRUP
  • TENTANG KAMI

© 2020 Sitimang - Jalan HM Yusuf Singedekane, Lorong Purnawira, No 7, RT 21, Telanaipura, Kota Jambi. Kode Pos 36122. Developed by Ara.

No Result
View All Result
  • ADVERTORIAL
  • SELOKO
    • BATANGHARI
    • BUNGO
    • KERINCI
    • KOTA JAMBI
    • MERANGIN
    • MUARO JAMBI
    • SAROLANGUN
    • SUNGAI PENUH
    • TANJABBAR
    • TANJABTIM
    • TEBO
  • METROPOLIS
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
  • OPINI
  • RAGAM
  • RELIGI

© 2020 Sitimang - Jalan HM Yusuf Singedekane, Lorong Purnawira, No 7, RT 21, Telanaipura, Kota Jambi. Kode Pos 36122. Developed by Ara.